Cari Blog Ini

Arsip Blog

Jumat, 11 Maret 2011

Nifedipine


Indikasi:          
Pengobatan dan pencegahan insufisiensi koroner (terutama angina pektoris setelah infark jantung) dan sebagai terapi tambahan pada hipertensi.

Kontra Indikasi:
- Hipersensitivitas terhadap nifedipine.
- Karena pengalaman yang terbatas, pemberian nifedipine pada wanita hamil hanya dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati.

Komposisi:
Tiap tablet selaput mengandung:
Nifedipine 10 mg

Farmakologi:
Nifedipine merupakan antagonis kalsium (calcium channel blocker) yang berefek mengurangi konsumsi oksigen jantung, memperbaiki toleransi latihan pada pasien angina pektoris, mengurangi kebutuhan nitrogliserin dan mengurangi perubahan iskemik jantung saat beristirahat dan beraktivitas. Pada percobaan terhadap hewan, menunjukkan perbaikan perfusi pada miokardium yang iskemik.
Pada angina Printzmetal dimana nyeri dada disebabkan oleh spasme koroner, nifedipine terbukti merupakan terapi yang efektif.
Nifedipine merupakan anti hipertensi poten, dimana responnya lebih bermakna pada tekanan darah inisial yang lebih tinggi.
Pada individu dengan normotensif, tekanan darahnya hampir tidak turun sama sekali. Pada pasien hipertensi, nifedipine menurunkan resistensi perifer serta tekanan darah sistolik dan diastolik, meningkatkan volume per menit dan kecepatan jantung, dan juga mengurangi resistensi koroner, meningkatkan aliran koroner dan menurunkan konsumsi oksigen jantung. Efek antihipertensi dari nifedipine dalam dosis tunggal oral memberi onset sangat cepat dalam waktu 15 - 30 menit dan berlangsung selama 6 - 12 jam. Nifedipine cocok untuk terapi hipertensi ringan, sedang dan berat. Terapi dapat dikombinasi dengan betha-bloker, diuretik, metildopa atau klonidin. Pada kasus resistensi pada betha-bloker atau terapi kombinasi betha-bloker dan diuretik, respon positif dapat diperoleh dengan penambahan nifedipine dalam terapi.
Penambahan nifedipine secara oral pada krisis hipertensi akan menurunkan tekanan darah dengan cepat dan efektif.
Nifedipine juga digunakan untuk terapi hipertensi nefrogenik, hiperaldosteronisme dan feokromositoma.
Berbeda dengan betha-bloker, nifedipine dapat digunakan untuk pasien penderita asma karena tidak meningkatkan disposisi obstruksi bronkial, juga tidak mengganggu sirkulasi prifer tetapi sebaliknya memiliki aksi vasodilatasi. Nifedipine juga cocok digunakan untuk pasien dengan klaudikasi atau sindrom Renaud yang diperburuk oleh betha-bloker.
Nifedipine tidak memberi efek ntiaritmia.
Pemberian nifedipine secara oral akan diabsorbsi dengan baik, 92 - 98% terikat oleh protein plasma dan diekskresi dalam bentuk metabolit tidak aktif melalui urin.
Nifedipine dalam dosis tunggal diekskresi sebesar 80% dalam waktu 24 jam.
Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap farmakokinetik nifedipine.

Dosis:
- Dosis tunggal: 5 - 10 mg.
- Dosis rata-rata: 5 - 10 mg, 3 kali sehari.
Interval di antara 2 dosis pemberian tidak kurang dari 2 jam.

Peringan dan Perhatian:
Pemberian nifedipine pada pasien dengan stenosis aorta atau pasien yang sedang diberikan betha-bloker atau obat depresan miokardium lainnya dapat menyebabkan resiko gagal jantung.

Efek Samping:
- Dose dependent disebabkan oleh dilatasi vaskular seperti: sakit kepala atau perasaan tertekan di kepala, flushing, pusing, gangguan lambung, mual, lemas, palpitasi, hipotensi, hipertensi ortostatik, edema tungkai, tremor, kram pada tungkai, kongesti nasal, takikardia, tinitus, reaksi dermatologi.
- Sangat jarang terjadi, dilaporkan pada pemakaian nifedipine jangka panjang terjadi hiperplasia gusi dan segera kembali ketika pemakaian nifedipine dihentikan.
- Efek samping berat yang memerlukan penghentian pengobatan relatif jarang terjadi.

Interaksi Obat:
- Penggunaan nifedipine bersamaan dengan betha-bloker mempotensi efek antihipertensi nifedipine.
- Penggunaan nifedipine bersamaan dengan betha-bloker pada pasien dengan insufisiensi jantung, terapi harus dimulai dengan dosis kecil dan pasien harus dimonitor dengan sangat hati-hati.
- Penggunaan nifedipine bersamaan dengansimetidin (tidak pada ranitidin) meningkatkan konsentrasi plasma dan efek antihipertensi nifedipine.

Overdosis:
Intoksikasi nifedipine jarang dijumpai.
Dosis 210 mg menyebabkan hipotensi berat dan blok atrioventrikular total. Terapi hipertensi dan blok atrioventrikular dianjurkan dengan infus simpatomimetik (isoprenalin, dopamin) yang memberikan aksi yang berlawanan dengan nifedipine dengan meningkatkan perfusi kalsium ke dlam sel miokardium. Larutan kalsium glikonat 10% dapat diberikan dengan dosis inisial 10 - 20 mlditingkatkan sesuai respon.

History
Seorang wanita Ny.Z, usia 31 tahun, G3P2A0 datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan utama keluar darah bercampur lendir 3 jam SMRS,sedikit, dan tidak nyeri. Pasien merasa kenceng-kenceng tetapi jarang. Riwayat coitus (-), riwayat trauma (-), namun pasien meraa kecapekan beberapa hari SMRS. Pasien memiliki riwayat penyakit liver 10 tahun SMRS, riwayat hipertensi, DM, ASMA, dan alergi disangkal. Riwayat ANC rutin di puskesmas tiap bulan. Umur kehamilan 31+1 minggu..
Pemeriksaan fisik didapatkan status eneralis dalam batas normal. Status obstetric: pemeriksaan luar inspeksi sriae gravidarum (+), linea gravidarum (+), palpasi HIS (+) 2/30/lemah. Leopold tfu 2 jari di atas pusat, punggung kiri, janin tunggal intra uteri, bagian terbawah janin bokong belum masuk panggul. Auskultasi DJJ 152x/menit. Pemeriksaan dalam Vulva/ uretra tenang, dinding vagina licin, portio utuh, mecucu,  servix lunak, di belakang, pembukaan 1 jari sempit, presentasi bokong, STLD (+), air ketuban (-).
Pmeriksaan darah rutin dalam batas normal.

DIAGNOSIS
Partus prematurus imminens G3P2A0, 31 tahun, hamil  31+1 hari minggu

PENATALAKSANAAN
Terapi yang telah dilakukan antara lain: Pertahankan kehamilanà Bedrest total, Eritromycin 4x500mg, Nifedipin 3x10 mg, Sulfas Ferrosus 1x1, Rencana USG, Inj. Dexametazone 2x1 A (2hari).

DISKUSI
Pada kasus ini, termasuk dalam perdarahan antepartum, yaitu perdarahan pervaginam antara usia kehamilan 20 minggu hingga melahirkan. Pada trimester ke-3, perdarahan antepartum terjadi 2-6% dari seluruh kehamilan. Jumlah perdarahan bisa sedikit (spotting) sampai masif. Karena perdarahan antepartum dapat menyebabkan stress fisik dan emosional, sebagaimana mortalitas dan morbiditas ibu dan janin, itulah sebabnya penegakan diagnosis penting dilakukan. Differential diagnosis penyebab yang umum dari perdarahan antepartum ini antara lain adalah solusio plasenta, plasenta previa, vasa previa, dalam persalinan (lendir darah), cervicitis, trauma (termasuk hubungan seksual), rupture uteri, dan karsinoma.
Prosedur diagnostik:
·         Anamnesis dan pemeriksaan fisikà jangan lakukan pemeriksaan dalam
·         Pemeriksaan USG
·         Monitor elektronik janin  untuk menilai kesejahteraan janin dan kontraksi uterus
·         pemeriksaan dengan speculumàLakukan pemeriksaan USG terlebih dahulu jika memungkinkan dan jangan lakukan periksa dalam
Pada prinsipnya: Wanita dengan perdarahan antepartum harus dievaluasi di RS yang mampu menangani perdarahannya dan memiliki unit perinatologi yang baik
Pemeriksaan dalam secara vaginal dan rektal tidak boleh dilakukan sampai plasenta previa  dapat disingkirkan dan sampai persiapan untuk penatalaksanaan yang lengkap untuk perdarahan dan komplikasi yang mungkin muncul telah disiapkan. Pemeriksaan vaginal dan rektal benar- benar harus dihindari karena sangat mungkin dapat mencetuskan perdarahan yang tidak terkontrol. Jika pemeriksaan dalam harus dilakukan, maka disiapkan dengan metode double set (dilakukan di ruang operasi). Pada kasus ini, pasien datang kemudian dilakukan pemeriksaan dalam,dan diketahui bahwa vulva/ uretra tenang, dinding vagina licin, portio licin, mecucu, pembukaan 1 jari sempit, servix lunak di belakang, presbo, STLD (+), air ketuban (-).
Sehubungan dengan prinsip penatalaksanaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip penegakan dan penyingkiran diagnosis plasenta previa. Cara yang paling akurat untuk menegakkan diagnosis plasenta previa adalah dengan USG. Oleh karena itu, pada pasien dengan perdarahan antepartum, pemeriksaan yang disarankan adalah USG. USG translabial lebih baik dalam menentukan lokasi plasenta untuk plasenta posterior daripada transabdominal.       USG transvaginal merupakan jalan yang paling akurat dalam menilai adanya plasenta previa. Sensitivitasnya meningkat jika menggunakan color flow doppler. USG ini dapat digunakan untuk menilai jendalan darah di retroplasenta.  DJJ harus dipantau secara terus-menerus dan rutin dalam interval tertentu. Saat di-USG juga harus diperhatikan apakah volume air ketuban mencukupi dan perlu dilakukan konfirmasi umur kehamilan. Selain itu, amniosintesis untuk mengetahui maturitas paru sebaiknya juga dilakukan jika ada indikasi.
Untuk menegakkan diagnosis dan rencana terapi, keadaan ibu, janin, plasenta dan evaluasi persalinan harus diperhatikan. Secara umum, rencana penatalaksanaannya ada 3, yaitu segera dilahirkan, rencana persalinan, dan dipertahankan, pilihan didasarkan atas diagnosis.
Jika janin masih immatur, janin harus dipertahankan jika memang tidak ada komplikasi (misalnya perdarahan berlanjut, fetal distress, dalam persalinan, atau spontaneous rupture of the membranes).
Dahulu, pemeriksaan double setup sering digunakan untuk menegakkan diagnosis perdarahan antepartum. Caranya, pemeriksaan vagina secara hati-hati dengan spekulum dilakukan di ruang operasi dengan perlengkapan SC yang sudah siap. Jika plasenta tidak dapat divisualisasikan, berarti dugaan plasenta previa dapat disingkirkan. Cara ini dinilai kurang akurat, metode yang berbahaya jika dibandingkan dengan USG. Oleh karena itu, pemeriksaan double setup ini sudah mulai ditinggalkan.  Pada kasus ini, pemeriksaan double setup tidak dikerjakan. Sedangkan perdarahan antepartum nonobstetrik, biasanya berupa flek yang tidak meningkat dengan adanya aktivitas, tidak ada kontraksi uterus dan diagnosis definitifnya biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan spekulum.
Secara klinis, diagnosis utama plasenta previa ditandai dengan flek pada trimester pertama atau ke-2, perdarahan mendadak, tanpa rasa nyeri dan perdarahan yang banyak pada trimester ke-3. Perdarahan tanpa rasa nyeri merupakan tanda kardinal plasenta previa. Flek-flek dapat terjadi pada trimester pertama dan ke-2. Perdarahan  biasanya berwarna merah segar karena sumber perdarahan langsung dari arteri spiralis yang terlepas.
Perdarahan episode pertama biasanya dimulai setelah kehamilan 28 minggu dan secara khas terjadi tanpa rasa nyeri, mendadak dan profuse.  Dengan episode perdarahan awal, pembekuan atau perdarahan ditandai dengan sejumlah darah merah segar, jendalan darah, tetapi darah yang hilang biasanya tidak banyak, jarang yang sampai menyebabkan syok dan hampir tidak berakibat fatal. Sekitar 10% kasus disertai dengan sedikit nyeri karena koeksis dengan solusio plasenta, dan persalinan spontan dapat terjadi setelah beberapa hari pada 25% pasien. Pada sedikit kasus, perdarahan tidak begitu banyak bahkan tidak akan terjadi sampai terjadi ruptur membran secara spontan atau saat dalam persalinan. Pada sebagian nullipara kadang bisa mencapai aterm tanpa perdarahan, mungkin disebabkan karena plasenta telah dilindungi oleh cervix uneffaced.
Adanya perdarahan pada usia kehamilan 31 minggu juga bisa dicurigai partus prematurus imminen, apalagi jumlah perdarah sedikit, warna kecoklatan dan disertai lendir. Perdarahan yang seperti ini berasal dari pematangan servix. Pada kasus ini, diagnosisnya adalah partus prematurus imminen. Partus prematurus didefinisikan sebagai kontraksi uterus yang reguler diikuti dengan dilatasi servik yang progresif dan atau penipisan servik kurang dari 37 minggu usia gestasi. Pada kasus ini, didapatkan his, servix lunak dan berdilatasi, serta  ada perdarahan bercampur lendir sebanyak 2cc, sehingga dikatakan partus prematurus yang masih imminen.
Setiap evaluasi pada kasus yang dicurigai partus prematurus, harus meliputi riwayat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, USG dan evaluasi DJJ. Riwayat infeksi selama hamil atau gejala infeksi yang terkini, meliputi ISPA atau ISK, coitus terakhir, kekerasan fisik, riwayat trauma abdomen dan obat yang terakhir digunakan. Pemeriksaan fisik termasuk vital sign, nyeri tekan uterus dan kontraksi. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, spesimen cervical untuk kultur, spesimen urin untuk toksikologi, urinalisis, evaluasi mikroskopik dan kultur serta spesimen untuk sensitivitas.
 Kadang-kadang diperlukan amniosintesis, terutama jika pasien tidak berespon bagus terhadap agen tokolitik atau demam tanpa ada sumber infeksi yang jelas. Pemeriksaan maturitas paru dilakukan jika usia kehamilan 30-35 minggu. Adanya fibronektin dari secret cervikovaginal dapat dijadikan penanda adanya disrupsi desidual yang merupakan indikator diagnostik. Pada kasus ini, pemeriksaan maturitas paru tidak dilakukan. USG untuk mengetahui posisi janin, jumlah cairan ketuban, TBJ, menentukan letak plasenta, mendeteksi solusio plasenta dan menentukan profil biofisik. Pada pasien ini, telah dilakukan USG: janin  di dalam uterus, presbo, DJJ (+), BPD 7,8, FL 5,75, AC 27,95,UK 31,32 minggu, perkiraan lahir 2/6/08, perkiraan BB 1,85 ±0,2 kg, plasenta terletak di posterior, letak plasenta menutup SBR (dangerous plasenta), jenis kelamin: skrotum (+)à laki- laki, kesan: plasenta letak rendah.
 Pengawasan DJJ harus dilakukan sampai pasien stabil dan tingkat kontraksi kurang dari 6x/jam.
Prosedur terapi:
·         Cairan rumatan dengan RL atau 0,9 NACl dengan atau tanpa D5% untuk meminimalkan resiko udem pulmo
·         Bedrest total, paling tidak selama pengawasan janin berlangsung
·         Terapi antibiotik. Direkomendasikan menggunakan Penicillin atau Ampicillin, jika pasien alergi, sebaiknya diberikan Clindamycin. Akhir-akhir ini, terapi antibiotik tidak diindikasikan pada partus prematurus dan membran yang utuh karena dapat meningkatkan kematian neonatal. Pada kasus ini, antibiotik yang diberikan Erytromicyn.
·         Kortikosteroid meningkatkan jumlah surfaktan paru dari pneumosit tipe II dan menurunkan kematian neonatal, perdarahan otak, enterokolitis nekrotikan. Dianjurkan menggunakan betametazone 12mg IM, dengan dosis ulangan setiap 24 jam. Pada kehamilan 24-34 minggu dianjurkan untuk pematangan paru. Efek yang maksimal didapatkan 24 jam setelah pemberian ke-2. Efek kortikosteroid yang menguntungkan untuk partus prematurus dan rupture membrane signifikan. Penggunaan kortikosteroid pada usia kehamilan <23 minggu masih kontroversial. Pada kasus ini, diberikan injeksi Dexametazone 2x1A (2 hari).
·         Pasien boleh dirawat di rumah apabila cervix telah stabil tanpa mengkonsumsi tokolitik oral. Saat di rumah, pasien tetap harus bedrest total. Pada kasus ini, pasien boleh pulang setelah perdarahan berhenti, DJJ bagus dan pasien tidak ada keluhan lagi.
·         Terapi tokolitik harus mempertimbangkan usia kehamilan dan kelainan pada janin harus dipastikan tidak ada
Tokolitik diindikasikan jika terjadi kontraksi uterus yang teratur sehingga dapat menjadikan perubahan pada servix. Kontraindikasi pemberian tokolitik antara lain fetal distress akut, korioamnionitis akut, eklamsia, PEB, janin matur,dan ketidakstabilan hemodinamik ibu.
Pada kasus ini, agen tokolitik yang digunakan adalah Nifedipin. Kerja nifedipin dengan cara menghambat masuknya kalsium ke intraseluler, nifedipin memblok kontraksi otot polos dan menghambat kontraksi uterus. Dosis yang dianjurkan adalah 10-20mg setiap 6jam secara oral. Nifedipin juga diberikan sebagai loading dose 10mg sublingual setiap 20 menit sampai 3x. Pada kasus ini, nifedipin diberikan 3x10mg.
Kontraindikasi Nifedipin: diberikan bersama MgSO4 karena dapat menyebabkan hipotensi berat. Kontraindikasi lain: CHF dan stenosis aorta. Efek samping: hipotensi, flushing, kongesti nasal, takikardi, ngantuk berat, mual, perubahan pada usus, blokade otot skeletal
Tujuan utama pemberian tokolitik adalah untuk munurunkan kontraksi uterus dan menghentikan dilatasi servix. Obat harus segera diturunkan dosisnya atau dihentikan apabila timbul efek samping. Jika pemberian IV atau subkutan telah menghasilkan efek terapi yang diharapkan dalam 12-24 jam, agen tokolitik ini sebaiknya tidak diberikan lagi. Tetapi ada juga yang menganjurkan pemberian tokolitik oral segera setelah tokolitik parenteral.

KESIMPULAN
Penegakan diagnosis partus prematurus imminen harus dilakukan secara dini dengan keadaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang akurat sehingga terapi yang diberikan juga lebih tepat
Apabila terjadi perdarahan pervaginam pada kehamilan preterm, identifikasi penyebab kemudian berikan pengobatan yang tepat sesuai dengan penyebabnya
Karena resiko morbiditas dan mortalitas persalinan preterm, maka apabila memungkinkan, cobalah untuk mempertahankan kehamilan dan lakukan tindakan untuk meminimalkan resiko tersebut apabila terjadi partus prematurus imminens

Tidak ada komentar: