BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan limfatik adalah cairan putih mirip susu yang mengandung protein, lemak dan limfosit (sel darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu: Sel B dan Sel T. Sel B membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan jalan membuat antibodi yang menyerang dan memusnahkan bakteri.
Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh. Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati, dan otak.
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian, diantaranya limfoma Hodgkin (LH), limfoma non-hodgkin (LNH), histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam praktek, yang dimaksud limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH) memiliki gejala yang mirip. Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Makin tua umur, makin tinggi risiko terkena penyakit ini. Tapi secara umum, LNH bisa menyerang semua usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sementara dari sisi jenis kelamin, kasus LNH lebih sering ditemukan pada pria ketimbang wanita.Di Indonesia, limfoma merupakan jenis kanker nomor enam yang paling sering ditemukan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum.
Mengetahui tentang limfoma maligna khususnya type Hodgkin.
1.2.2 Tujuan khusus.
1. Mengetahui pengertian Limfoma maligna
2. Mengetahui gejala, penyebab, patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan pada pasien Limfoma maligna.
3. Mengetahui asuhan keperawatan yang harus diberikan pada pasien limfoma maligna.
1.3 Manfaat
- Kita dapat mengetahui pengertian Limfoma maligna
- Kita dapat mengetahui gejala, penyebab, patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan pada pasien Limfoma maligna.
- Kita dapat mengetahui asuhan keperawatan yang harus diberikan pada pasien limfoma maligna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum. Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum (maligna = ganas).
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832, kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1872, disusul oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg.
2.2 Gejala
1. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri.
Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher.
2. Hepatosplenomegali, neuropati.
3. Gejala sistemiknya yaitu : demam (tipe pel Ebstein) dengan suhu lebih dari 38oC, berkeringat malam hari, berat badan menurun lebih dari 10%, lemah badan, gatal-gatal, nafsu makan menurun, daya kerja menurun, nyeri abdomen karena hepatosplenomegali.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari atau beberapa minggu
4. Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh.
2.3 Penyebab
Penyebabnya tidak diketahui. Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV) yang ditemukan pada limfoma Burkitt, Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).
Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.
Stadium limfoma maligna :
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
1. Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening.
2. Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
3. Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
4. Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak.
2.4 Patofisiologi
Ansietas
2.5 Komplikasi
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Ananmnesis
Keluhan terbanyak pada penderita adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila, ataupun lipat paha. Berat badan semakin menurun, dan terkadang disertai dengan demam, sering berkeringat dan gatal-gatal.
2. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler – aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin Weldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlibat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlibat bersama-sama.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.
4. Sitologi biopsi aspirasi
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin.
6. Radiologi
a. Foto thoraks
b. Limfangiografi
c. USG
d. CT scan
7. Laparotomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening pada iliaka, para aorta dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium.
2.7 Terapi / penatalaksanaan
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyakit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.
1. Radiasi
a. Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
b. Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
c. Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
d. Untuk stadium IV secara total body irradiation
2. Kemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi. Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.
MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)
M : Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8
O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII
P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV
2.8 Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien Limfoma antara lain :
1. Data subyektif
a. Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38 oC
b. Sering keringat malam
c. Cepat merasa lelah
d. Badan lemah
e. Mengeluh nyeri pada benjolan
f. Nafsu makan berkurang
g. Intake makan dan minum menurun, mual, muntah
2. Data Obyektif
a. Timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan pada leher, ketiak atau pangkal paha
b. Wajah pucat
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan malnutrisi
2. Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
3. Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
4. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen terhadap perdaharan
5. Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak ke jaringan luar
6. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
8. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang kurang
9. Perubahan kenyamanan berhubungan dengan mual, muntah
10. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
11. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber-sumber
C. RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
a.Tujuan : suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºC)
b.Intervensi :
1. Observasi suhu tubuh pasien
Rasional : dengan memantau suhu diharapkan diketahui keadaan sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2. Anjurkan dan berikan banyak minum (sesuai kebutuhan cairan anak menurut umur)
Rasional : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh.
3. Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha.
Rasional : kompres dapat membantu menurunkan suhu tubuh pasien secara konduksi.
4. Anjurkan untuk memakaikan pasien pakaian tipis, longgar dan mudah menyerap keringat.
Rasional : Dengan pakaian tersebut diharapkan dapat mencegah evaporasi sehingga cairan tubuh menjadi seimbang.
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Rasional : antipiretik akan menghambat pelepasan panas oleh hipotalamus.
2. Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
a.Tujuan : nyeri berkurang
b.Intervensi :
1. Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal setiap 6 jam
Rasional : menentukan tindak lanjut intervensi.
2. Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 6 jam
Rasional : nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi, pernafasan meningkat
3. Terapkan tehnik distraksi (berbincang-bincang)
Rasional : mengalihkan perhatian dari rasa nyeri
4. Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dan sarankan untuk mengulangi bila merasa nyeri
Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga mengurangi penekanan dan nyeri.
5. Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman
Rasional : mengurangi keteganagan area nyeri.
6. Kolaborasi dalam pemberian analgetika.
Rasional : analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan penghilangan nyeri.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
a.Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
b.Intervensi :
1. Beri makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
2. Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, evaluasi keadequatan rencana nutrisi
3. Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional : meningkatkan keinginan pasien untuk makan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi
4. Ciptakan lingkungan yang nyaman saat makan
Rasional : suasana yang nyaman membantu pasien untuk meningkatkan keinginan untuk makan
5. Beri HE tentang manfaat asupan nutrisi
Rasional : makanan menyediakan kebutuhan kalori untuk tubuh dan dapat membantu proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
4. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
a.Tujuan : aktivitas dapat ditingkatkan
b.Intervensi :
1. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda-tanda vital selama dan setelah aktivitas
Rasional : menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
2. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen
3. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional : membantu dan memenuhi ADL pasien
4. Beri aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen).
5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
a.Tujuan : pasien tidak cemas/berkurang
b.Intervensi
1. Kaji dan pantau tanda ansietas yang terjadi
Rasional: ketakutan dapat terjadi karena kurangnya informasi tentang prosedur yang akan dilakukan, tidak tahu tentang penyakit dan keadaannya
2. Jelaskan prosedur tindakan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman pasien.
Rasional : memberikan informasi kepada pasien tentang prosedur tindakan akan meningkatkan pemahaman pasien tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalahnya
3. Diskusikan ketegangan dan harapan pasien.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
4. Perkuat faktor-faktor pendukung untuk mengurangi ansiates.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
D. Evaluasi
Setelah dilakukan pelaksanaan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah :
1.Suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºc)
2.Nyeri berkurang
3.kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.Aktivitas dapat ditingkatkan/ADL pasien terpenuhi
5.Pasien tidak cemas/berkurang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker.
Cairan limfatik adalah cairan putih mirip susu yang mengandung protein, lemak dan limfosit (sel darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfatik.
Tanda dan gejalanya:
- Terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri.
- Hepatosplenomegali, neuropati.
- Gejala sistemiknya yaitu : demam (tipe pel Ebstein) dengan suhu lebih dari 38oC, berkeringat malam hari, lemah badan, gatal-gatal, nafsu makan menurun, daya kerja menurun, nyeri abdomen karena hepatosplenomegali.
- Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat
Penyebab:
Penyebabnya tidak diketahui.
Empat kemungkinan penyebabnya adalah:
- faktor keturunan,
- kelainan sistem kekebalan,
- infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV),
- Epstein-Barr virus (EBV) yang ditemukan pada limfoma Burkitt, Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).
Limfoma maligna terbagi atas beberapa stadium yaitu: stadium 1,2,3,dan 4.
Komplikasi yang timbul adalah efek dari terapi.Yaitu:
- alopesia
- mual
- Muntah
- Dll
Penatalaksanaan untuk penyakit ini adalah :
- Radiasi
- Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.
- MOPP (untuk Limfoma Hodgkin.
3.2 Saran
Bagi mahasiswa, sebagai perawat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu ini atau menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien limfoma maligna Hodgkin dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
http://darsananursejiwa.blogspot.com/2009/04/askep-liofoma-malignakanker-kelenjar.html
http://kumpulanmaterikeperawatan.blogspot.com/2010/04/askep-kelenjar-getah-bening.html
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology/1917457-limfoma-non-hodgkin/
http://indokes.blogspot.com/2010/07/askep-limfomakanker-kelenjar-getah.html
http://askep-askep.blogspot.com/2010/01/askep-klien-ca-kel-getah-bening_20.html
http://doctorology.net/?p=368
Tampilkan postingan dengan label askep. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label askep. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 12 Februari 2011
Jumat, 11 Februari 2011
dic
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah.
Banyak penyakit dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai disiplin.
DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada mikrovaskular.
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan) leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk pria yang telah cedera kepala hebat dan terkena gigitan ular berbisa. Komplikasi menjalani pembedahan prostat obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada penyakit koagulasi intravascular diseminata (KID).
2. Untuk mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit KID.
3. Untuk menambah pemahaman tentang asuhan keparawatan pada penyakit KID.
1.3 Manfaat
1. Agar dapat mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada penyakit koagulasi intravascular diseminata (KID).
2. Agar dapat mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit KID.
3. Agar dapat menambah pemahaman tentang asuhan keparawatan pada penyakit KID.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.
Disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah suatu keadaan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh bermacam penyakit atau keadaan, dimana pada suatu saat darah merah bergumpal didalam kapiler diseluruh tubuh. Penggumpalan darah dapat terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu sampai dua hari (acute DIC) dan dapat juga dalam waktu yang lama, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (chronic DIC).
Pada DIC akut terjadi penggumpalan darah dalam waktu singkat, hal ini mengaki-batkan sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan (I sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau defibrinolysis syndrome. Kesemuanya ini berakibat terjadinya perdarahan dari yang ringan sampai berat. Penyebab Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
2.2 Gejala
1) Pendarahan
2) Gumpalan darah
3) Penurunan tekanan darah
4) Mendadak memar-memar
DIC akut akan memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai, ekimosis pada bekas punksi vena, keduanya akibat trombositopenia. Sedangkan pada pasien DIC kronik hanya akan memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ tertentu.
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat, trauma, destruksi organ, keganasan (tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar), penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan transplantasi.
Gejala biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit. Otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih.
2.3 Penyebab
Terdapat dua jalur yang menjadi penyebab terjadinya DIC pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah. Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan (mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).
2.4 Patofisiologi
Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pregangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau mikrotrombi. Pada pemeriksaan lab akan ditemui trombositopenia, PT dan PTT yang memanjang, penurunan fibrinogen bebas dibarengi peningkatan produk degradasi fibrin, seperti D-dimer.
1. Consumptive coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi system pembekuan darah secara sistemik, trombist yang terus menurun, komponen fibrin bebas yang terus berkurang. Karena dipicu penyakit/ trauma berat maka akan terjadi aktivasi pembukuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi pembuluh darah, sehingga menyebabkan thrombus mikrovaskuler pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi organ. Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi system fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskuler.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utama terdiri dari 2 macam. Pertama pembentukan trombin dengan perantara factor pembekuan darah. Kedua terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan. System yang tidak berfungsi secara tidak normal ini disebabkan tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1
2. Depresi prokoagulan
Kelainan fungsi jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi factor – factor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam pembentukan fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pada pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal
3. Defek fibrinolisis
Pada aktivasi koagulan maksimal, saat itu system fbrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk dipembuluh darah. Kelainan system fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, activator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk dipembuluh darah.
2.5 Komplikasi
1) Ekstremitas gangren
2) Syok
3) Hipoksia
4) Sindrom disfungsi multi-organ seperti gagal ginjal dan paru serta infark sestem saraf pusat multifokal akibat trombosis mikro dan makro.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
• Tes haemostasis
• Pemeriksaan filem darah
Pemeriksaan darah menunjukkan :
Penurunan jumlah faktor pembekuan
Adanya bekuan-bekuan kecil yang tidak biasa
Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah.
2.7 Penatalaksanaan
Penyebabnya harus dicari dan diatasi, apakah gangguan kebidanan, infeksi atau kanker. Jika penyebabnya diatasi, maka gangguan pembekuan bisa berkurang. DIC bisa berakibat fatal, sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan transfusi trombosit dan faktor pembekuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan perdarahan.
Untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin. Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
2.8 Terapi
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan.
Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.
2.9 Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan klien dengan DIC
Pengakajian Data Dasar
1. Kaji adanya faktor-faktor predisposisi.
Septikemia
Komplikasi obstetrik
Sindrom distres pernafasan dewasa/ARDS
Luka bakar berat dan luas
Neoplasi
Gigitan ular
Penyakit hepar
Bedah kardiopulmonal
Trauma
2. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan ha-hal di bawah ini :
a. Perdarahan
Hematuria
Rembesan darah dari sisi pungsi vena dan luka
Epistaksis
Perdarahan GI tract (Henatemesis melena)
b. Kerusakan perfusi jaringan
Serebral : Perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, atau sakit kepala
Ginjal : Penurunan pengeluaran urin
Paru : Dipsnea, ortopnea
Kulit : Akrosianosis (ketidakteraturan bentuk bercak sianosis pada lengan perifer atau kaki
c. Pemeriksaan diagnostik
Jumlah trobombosis rendah
PT dan PTT memanjang
Degradasi produk fibrin meningkat
Kadar fibrinogen plasma darah rendah
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan iskemik
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hemoragi sekunder terhadap DIC
3. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyebab pengobatan
Intervensi
1. Dx : Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan iskemik
Intervensi :
Lakukan tindakan untuk mengatasi atau mengendalikan nyeri
1) Imobilisasi nyeri
2) Beri kompres hangat atau dingin
3) Berikan perawatan mulut dan kulit
4) Gunakan skala nyeri untuk mengkaji derajat nyeri
5) Berikan obat anti nyeri.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hemoragi sekunder terhadap DIC
Intervensi :
1) Pantau hasil koagulasi, tanda vital dan perdarahan sisi baru dan patogenesis
2) Waspadai perdarahan
3) Berikan obat yang ditentukan dan evaluasi keefektifan
4) Berikan transfuse darah yang di resekan sesuai proesedur
5) Kolaborasi dengn dokter untuyk pemberian obat anti koagulan
3. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
Intervensi :
Pantau status klinis pasien, laporkan setiap perubahan yang bermakna
1) Pantau adanya tanda2 hemoragi-perdarahan, petekie, rembesan kuteneus, dispnea, letargi pucat, peningkatan denyut apikal, penurunan tekanan darah, sakit kepala, pusing, kelemahan otot, gelisah.
2) Pantau adanya tanda2 iskemia-perubahan tingkat kesadaran, penurunan haluaran urine, perubahan pada EKG, ekstremitas gangren, kulit bercak, lesi kulit nekrotik, gagal nafas.
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyebab pengobatan
Intervensi :
Pantau respon terapeutik dan respon yang tidak diinginkan terhadap pemberian heparin
Beridukungan bagi pasien dan keluarganya
1) Identifikasi adanya defisit pengetahuan
2) Berikan informasi yang akurat
3) Berikan jawaban jujur dengan istilah yang jelas dan singkat
4) Pilih perawat yang konsisten
Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
1. Nyeri berkurang
2. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan
3. Tidak terjadi defisit volume cairan
4. Berkurang atau menurunnya tingkat ansietas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.
2) Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
3) Disebabkan karena respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah serta pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah.
4) Fase awal DIC akan diikuti fase consumptive coagulopathy, depresi prokoagulan dan fibrinolysis.
5) Komplikasi yang akan terjadi adalah ekstremitas gangren, syok, hipoksia serta sindrom disfungsi multi-organ seperti gagal ginjal dan paru serta infark sestem saraf pusat multifokal akibat trombosis mikro dan makro.
6) Pemeriksaan penunjang tes hoemostasis dan pemeriksaan filem darah.
7) Penatalaksanaannya untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin, transfusi trombosit dan komponen plasma.
3.2 Saran
1) Diharapkan semua mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami penjelasan isi dari makalah ini yaitu tentang penyakit koagulasi intravaskular diseminata (KID)
2) Diharapkan setelah membaca isi makalah ini, teman-teman sebagai calon perawat dapat mengaplikasikan asuhan keperawatannya pada saat dilahan.
DAFTAR PUSTAKA
Wiwik Handayani. 2003. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Hematologi .
Http://books.google.co.id
Http://razimaulana.wordpress.com/2009/11/14.
Http://fkunhas.com/koagulasi-intravaskular-diseminata-kid-20100701230.html.
Http://Morphostlab.Com/Category/Artikel/Hematologi/Page/2
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah.
Banyak penyakit dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai disiplin.
DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada mikrovaskular.
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan) leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk pria yang telah cedera kepala hebat dan terkena gigitan ular berbisa. Komplikasi menjalani pembedahan prostat obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada penyakit koagulasi intravascular diseminata (KID).
2. Untuk mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit KID.
3. Untuk menambah pemahaman tentang asuhan keparawatan pada penyakit KID.
1.3 Manfaat
1. Agar dapat mengetahui pengertian, tanda dan gejala pada penyakit koagulasi intravascular diseminata (KID).
2. Agar dapat mengetahui bagaimana proses perjalanan penyakit KID.
3. Agar dapat menambah pemahaman tentang asuhan keparawatan pada penyakit KID.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.
Disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah suatu keadaan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh bermacam penyakit atau keadaan, dimana pada suatu saat darah merah bergumpal didalam kapiler diseluruh tubuh. Penggumpalan darah dapat terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam sampai satu sampai dua hari (acute DIC) dan dapat juga dalam waktu yang lama, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (chronic DIC).
Pada DIC akut terjadi penggumpalan darah dalam waktu singkat, hal ini mengaki-batkan sebagian besar bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan (I sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh karena itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau defibrinolysis syndrome. Kesemuanya ini berakibat terjadinya perdarahan dari yang ringan sampai berat. Penyebab Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.
2.2 Gejala
1) Pendarahan
2) Gumpalan darah
3) Penurunan tekanan darah
4) Mendadak memar-memar
DIC akut akan memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai, ekimosis pada bekas punksi vena, keduanya akibat trombositopenia. Sedangkan pada pasien DIC kronik hanya akan memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ tertentu.
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat, trauma, destruksi organ, keganasan (tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar), penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi, dan penolakan transplantasi.
Gejala biasanya muncul tiba-tiba dan bisa bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran pencernaan, kulit. Otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk air kemih.
2.3 Penyebab
Terdapat dua jalur yang menjadi penyebab terjadinya DIC pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah. Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan (mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).
2.4 Patofisiologi
Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pregangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau mikrotrombi. Pada pemeriksaan lab akan ditemui trombositopenia, PT dan PTT yang memanjang, penurunan fibrinogen bebas dibarengi peningkatan produk degradasi fibrin, seperti D-dimer.
1. Consumptive coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi system pembekuan darah secara sistemik, trombist yang terus menurun, komponen fibrin bebas yang terus berkurang. Karena dipicu penyakit/ trauma berat maka akan terjadi aktivasi pembukuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi pembuluh darah, sehingga menyebabkan thrombus mikrovaskuler pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi organ. Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi system fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskuler.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utama terdiri dari 2 macam. Pertama pembentukan trombin dengan perantara factor pembekuan darah. Kedua terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan. System yang tidak berfungsi secara tidak normal ini disebabkan tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1
2. Depresi prokoagulan
Kelainan fungsi jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi factor – factor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam pembentukan fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pada pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal
3. Defek fibrinolisis
Pada aktivasi koagulan maksimal, saat itu system fbrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk dipembuluh darah. Kelainan system fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, activator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk dipembuluh darah.
2.5 Komplikasi
1) Ekstremitas gangren
2) Syok
3) Hipoksia
4) Sindrom disfungsi multi-organ seperti gagal ginjal dan paru serta infark sestem saraf pusat multifokal akibat trombosis mikro dan makro.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
• Tes haemostasis
• Pemeriksaan filem darah
Pemeriksaan darah menunjukkan :
Penurunan jumlah faktor pembekuan
Adanya bekuan-bekuan kecil yang tidak biasa
Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah.
2.7 Penatalaksanaan
Penyebabnya harus dicari dan diatasi, apakah gangguan kebidanan, infeksi atau kanker. Jika penyebabnya diatasi, maka gangguan pembekuan bisa berkurang. DIC bisa berakibat fatal, sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan transfusi trombosit dan faktor pembekuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan perdarahan.
Untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin. Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
2.8 Terapi
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan.
Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.
2.9 Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan klien dengan DIC
Pengakajian Data Dasar
1. Kaji adanya faktor-faktor predisposisi.
Septikemia
Komplikasi obstetrik
Sindrom distres pernafasan dewasa/ARDS
Luka bakar berat dan luas
Neoplasi
Gigitan ular
Penyakit hepar
Bedah kardiopulmonal
Trauma
2. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan ha-hal di bawah ini :
a. Perdarahan
Hematuria
Rembesan darah dari sisi pungsi vena dan luka
Epistaksis
Perdarahan GI tract (Henatemesis melena)
b. Kerusakan perfusi jaringan
Serebral : Perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, atau sakit kepala
Ginjal : Penurunan pengeluaran urin
Paru : Dipsnea, ortopnea
Kulit : Akrosianosis (ketidakteraturan bentuk bercak sianosis pada lengan perifer atau kaki
c. Pemeriksaan diagnostik
Jumlah trobombosis rendah
PT dan PTT memanjang
Degradasi produk fibrin meningkat
Kadar fibrinogen plasma darah rendah
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan iskemik
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hemoragi sekunder terhadap DIC
3. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyebab pengobatan
Intervensi
1. Dx : Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan iskemik
Intervensi :
Lakukan tindakan untuk mengatasi atau mengendalikan nyeri
1) Imobilisasi nyeri
2) Beri kompres hangat atau dingin
3) Berikan perawatan mulut dan kulit
4) Gunakan skala nyeri untuk mengkaji derajat nyeri
5) Berikan obat anti nyeri.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hemoragi sekunder terhadap DIC
Intervensi :
1) Pantau hasil koagulasi, tanda vital dan perdarahan sisi baru dan patogenesis
2) Waspadai perdarahan
3) Berikan obat yang ditentukan dan evaluasi keefektifan
4) Berikan transfuse darah yang di resekan sesuai proesedur
5) Kolaborasi dengn dokter untuyk pemberian obat anti koagulan
3. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
Intervensi :
Pantau status klinis pasien, laporkan setiap perubahan yang bermakna
1) Pantau adanya tanda2 hemoragi-perdarahan, petekie, rembesan kuteneus, dispnea, letargi pucat, peningkatan denyut apikal, penurunan tekanan darah, sakit kepala, pusing, kelemahan otot, gelisah.
2) Pantau adanya tanda2 iskemia-perubahan tingkat kesadaran, penurunan haluaran urine, perubahan pada EKG, ekstremitas gangren, kulit bercak, lesi kulit nekrotik, gagal nafas.
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyebab pengobatan
Intervensi :
Pantau respon terapeutik dan respon yang tidak diinginkan terhadap pemberian heparin
Beridukungan bagi pasien dan keluarganya
1) Identifikasi adanya defisit pengetahuan
2) Berikan informasi yang akurat
3) Berikan jawaban jujur dengan istilah yang jelas dan singkat
4) Pilih perawat yang konsisten
Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
1. Nyeri berkurang
2. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan
3. Tidak terjadi defisit volume cairan
4. Berkurang atau menurunnya tingkat ansietas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan.
2) Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
3) Disebabkan karena respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah serta pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah.
4) Fase awal DIC akan diikuti fase consumptive coagulopathy, depresi prokoagulan dan fibrinolysis.
5) Komplikasi yang akan terjadi adalah ekstremitas gangren, syok, hipoksia serta sindrom disfungsi multi-organ seperti gagal ginjal dan paru serta infark sestem saraf pusat multifokal akibat trombosis mikro dan makro.
6) Pemeriksaan penunjang tes hoemostasis dan pemeriksaan filem darah.
7) Penatalaksanaannya untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin, transfusi trombosit dan komponen plasma.
3.2 Saran
1) Diharapkan semua mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami penjelasan isi dari makalah ini yaitu tentang penyakit koagulasi intravaskular diseminata (KID)
2) Diharapkan setelah membaca isi makalah ini, teman-teman sebagai calon perawat dapat mengaplikasikan asuhan keperawatannya pada saat dilahan.
DAFTAR PUSTAKA
Wiwik Handayani. 2003. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Hematologi .
Http://books.google.co.id
Http://razimaulana.wordpress.com/2009/11/14.
Http://fkunhas.com/koagulasi-intravaskular-diseminata-kid-20100701230.html.
Http://Morphostlab.Com/Category/Artikel/Hematologi/Page/2
Rabu, 09 Februari 2011
Polisitemia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sel darah merah terdiri dari sebagian besar sel-sel darah dalam sirkulasi, dan salah satu fungsi utama mereka adalah untuk membawa oksigen dari paru ke semua sel, jaringan, dan organ dalam tubuh. Oksigen dilakukan di dalam sel darah merah dikombinasikan ke besi yang mengandung protein yang disebut "hemoglobin". sel darah merah tidak memiliki inti dan berbentuk seperti cakram cekung ganda atau donat berbentuk, dan mampu meringkuk dan pemerasan melalui pembuluh darah terkecil.
Jumlah sel darah merah normal dalam darah bervariasi, dan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. bayi baru lahir memiliki jumlah sel merah yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Jika ada jumlah yang lebih tinggi dari sel darah merah dalam sirkulasi dari biasanya maka seseorang dikatakan telah erythrocytosis atau polisitemia. Situasi sebaliknya dapat terjadi, dimana ada tingkat yang lebih rendah dari sel darah merah daripada biasanya, dan kondisi ini disebut sebagai "anemia". jumlah sel darah merah Dibesarkan dapat ditemukan kebetulan pada orang tanpa gejala, pada tahap awal polisitemia.
1.2. Tujuan
1. Untuk menambah kemampuan kita agar lebih maksimal dalam aplikasi merawat pasien dengan Polisitemia.
2. Untuk mendapat informasi tentang pengertian, klasifikasi, etiologi, gejala klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Polisitemia.
3. Dapat membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan Polisitemia serta mampu mengaplikasikannya dalam praktek keperawatan.
1.3. Manfaat
1. Agar kita sebagai perawat lebih terampil dalam aplikasi terhadap pasien dengan Polisitemia.
2. Agar dapat informasi lebih sehingga dapat digunakan sebagai pedoman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
Polisitemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.
Polisitemia adalah suatu kondisi yang jarang terjadi di mana tubuh terlalu banyak memproduksi sel darah merah . Ada dua jenis utama polisitemia: polisitemia vera dan polisitemia sekunder . Penyebab, gejala, dan perawatan dari dua kondisi yang berbeda-beda. Polisitemia Vera lebih serius dan dapat mengakibatkan komplikasi kritis lebih dari polisitemia sekunder .
Sel darah tubuh diproduksi di sumsum tulang ditemukan di beberapa tulang, seperti tulang paha. Biasanya produksi sel darah diatur oleh tubuh sehingga jumlah sel darah baru dibuat untuk menggantikan sel-sel darah yang lama karena mereka mati.
Dalam polisitemia, proses ini tidak normal karena berbagai penyebab dan menghasilkan terlalu banyak sel darah merah dan kadang-kadang sel-sel darah lainnya. Hal ini menyebabkan penebalan darah.
2.1.2 Gejala
Gejala-gejala polisitemia bervariasi tergantung dari penyebabnya dan adanya komplikasi. Gejala polisitemia vera dapat mencakup pusing , sakit kepala , kemerahan pada wajah, kesulitan bernafas, kelelahan, gatal setelah mandi panas, limpa membesar , kelesuan, dan gangguan visual.Gejala sekunder polisitemia meliputi kelesuan, hipertensi , dan sakit kepala .
2.1.3 Penyebab
Berikut ini adalah daftar penyebab atau kondisi yang mendasarinya (lihat juga mendiagnosis penyebab yang mendasari polisitemia) yang mungkin dapat menyebabkan polisitemia meliputi:
• Terpapar Karbon monoksida kronis
• Dehidrasi
• Ibu merokok
• Kegagalan pernafasan
• Bayi dari ibu diabetes
• Tumor ginjal
• polycythemia Akut myelofibrosis
• Bawaan polisitemia
• Methmoglobin reduktase kekurangan
• Paru arteriovenosa fistula - polisitemia
• Adenokarsinoma ginjal
• Feokromositoma
• Penyakit ginjal kronis
• Burns
• Penyakit jantung bawaan
• Stress
• Polisitemia vera rubra
• Penyakit Cushing
• Syok
• Diare
• Muntah
• Merokok,
• Penyakit paru kronis,
• Tumor Hati ,
• Brain tumor,
• Tumor rahim ,
• Penyakit paru-paru,
• Sindrom Cushing ,
• Adrenal adenoma ,
• Pseudopolycythaemia ,
• Arterio-paru vena malformasi ,
• Penyakit paru obstruktif kronik
2.1.4 Patofisiologi
Terdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.
1. Polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif karena terjadi penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan.
2. Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena rangsangan eritropoietin yang kuat.
3. Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin. Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah hipoksia.
Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui.
Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi. Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah.
Pada keadan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi aktivasi signal transducers and activators of transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor.
Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu, proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit hematopoetic growth factor.
Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom Budd-Chiari.
Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan resiko pirai dan batu ginjal.
2.1.5 Komplikasi
Waktu tidak diobati, polisitemia vera dapat mengakibatkan komplikasi seperti pembekuan darah , perdarahan, leukemia myelogenous akut , ulkus peptikum , perdarahan gastrointestinal , serangan jantung dan stroke.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik, yaitu ada tidaknya pembesaran limpa dan penampilan kulit (eritema).
2. Pemeriksaan Darah
Jumlah sel darah ditentukan oleh complete blood cell count (CBC), sebuah tes standar untuk mengukur konsentrasi eritrosit, leukosit dan trombosit dalam darah. PV ditandai dengan adanya peningkatan hematokrit, jumlah sel darah putih (terutama neutrofil), dan jumlah platelet.
Pemeriksaan darah lainnya, yaitu adanya peningkatan kadar serum B12, peningkatan kadar asam urat dalam serum, saturasi oksigen pada arteri, dan pengukuran kadar eritropoietin (EPO) dalam darah.
3. Pemeriksaan Sumsum tulang
Meliputi pemeriksaan histopatologi dan nalisis kromosom sel-sel sumsum tulang (untuk mengetahui kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang akibat mutasi dari gen Janus kinase-2/JAK2).
2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan pasien. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup pasien.
Tujuan terapi yaitu:
1. Menurunkan jumlah dan memperlambat pembentukan sel darah merah (eritrosit).
2. Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-vena, serebrovaskular, trombosis vena dalam, infark miokard, oklusi arteri perifer, dan infark pulmonal.
3. Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.
Prinsip terapi
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
• Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis
• Leukositosis progresif
• Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik
• Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Terapi PV
1. Flebotomi
Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin satu-satunya bentuk pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien, kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
Pada flebotomi, sejumlah kecil darah diambil setiap hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Jika nilai hematokrit sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan, sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan perempuan. 2. Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi sel darah merah atau konsentrasi platelet) Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Lebih baik menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi. Kemoterapi yang dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap lebih aman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka panjang. Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV. Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3 minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit: pada pria < 45% dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%.
3. Fosfor Radiokatif (P32)
Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan sumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian pertama P32 :
• Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan.
• Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
4. Kemoterapi Biologi (Sitokin)
Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalah Interferon (Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan).
5. Pengobatan pendukung
1. Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
2. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA).
3. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
4. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
5. Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika hidroksiurea tidak memberikan toleransi yang baik atau dalam kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet tinggi). Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum. Pasien yang lebih tua dan pasien dengan penyakit jantung umumnya tidak diobati dengan anagrelid.
Bab III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Pemeriksaan fisik
• Peningkatan warna kulit
• Gejala-gejala kelebihan beban sirkulasi (Dispneu,batuk kronis,peningkatan tekanan darah, pusing dan lain-lain)
• Gejala-gejala trombosis (Angina), disebabkan oleh peningkatan viskositas darah.
• Splenomegali dan hepatomegali
• Gatal, khususnya setelah mandi air hangat yang diakibatkan oleh hemolisis sel darah yang tidak matang
• Riwayat perdarahan hidung
3.2 Diagnosa Keperawatan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan sel darah merah dan volume darah.
Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembentukan trombus sekunder.
Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan rencana tindakan, kesulitan penyesuaian terhadap kondisi kronis.
3.3 Intervensi
Dx 1
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, volume cairan pada tubuh klien berada dalam batas normal
1. Batasi masukan cairan bila gejala kelebihan cairan terjadi
R : Untuk mencegah kelebihan cairan lebih lanjut
2. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan
R : Farmakoterapi sepanjang hidup diperlukan secara efektiv untuk mengontrol polisitemia vera
Dx 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan klien berada dalam keadaan normal
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif
R : Imobilisasi mempredisposisikan klien pada pembentukan trombus
2. Anjurkan masukan cairan bila tidak ada gejala-gejala kelebihan beban cairan
R : Cairan membantu menurunkan viskositas darah
3. Pantau hasil lab darah lengkap dan status vaskuler perifer setiap 8 jam
R : Untuk mendeteksi komplikasi dini
Dx 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan agar pengetahuan klien mengenai perubahan penatalaksanaan di rumah dapat terpenuhi
1. Evaluasi pemahaman klien mengenai kondisi dan terapi klien
R : Kepatuhan ditingkatkan bila klien memahami hubungan antara kondisi dan terapi yang mereka dapatkan
2. Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang mengalami penyakit kronis.
R : Pengungkapan perasaan memudahkan koping serta mengurangi ansietas
3. Instruksikan klien untuk mencari pertolongan medis bila gejala-gejala kelebihan beban sirkulasi terjadi
R : Intervensi diperlukan untuk mencegah kerusakan jaringan permanen
3.4 Evaluasi
1. Tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Bunyi nafas bersih
3. Penurunan berat badan
4. CRT < 2 detik
5. Tidak cyanosis
6. Akral hangat
7. Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan rencana tindakan
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
1.Polisitemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.
2. Gejala bervariasi tergantung dari penyebab dan komplikasi
3. Dx yang dapat muncul :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan sel darah merah dan volume darah.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembentukan trombus sekunder.
3. Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan rencana tindakan, kesulitan penyesuaian terhadap kondisi kronis.
Saran
Untuk lebih mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Polisitemia Vera,mahasiswa harus memahami benar tentang definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, serta penatalaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani,wiwik.Andi Sulistyo W.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.Salemba Medika:Jakarta
http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001649
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.wrongdiagnosis.com/p/polycythemia/symptoms.htm
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sel darah merah terdiri dari sebagian besar sel-sel darah dalam sirkulasi, dan salah satu fungsi utama mereka adalah untuk membawa oksigen dari paru ke semua sel, jaringan, dan organ dalam tubuh. Oksigen dilakukan di dalam sel darah merah dikombinasikan ke besi yang mengandung protein yang disebut "hemoglobin". sel darah merah tidak memiliki inti dan berbentuk seperti cakram cekung ganda atau donat berbentuk, dan mampu meringkuk dan pemerasan melalui pembuluh darah terkecil.
Jumlah sel darah merah normal dalam darah bervariasi, dan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. bayi baru lahir memiliki jumlah sel merah yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Jika ada jumlah yang lebih tinggi dari sel darah merah dalam sirkulasi dari biasanya maka seseorang dikatakan telah erythrocytosis atau polisitemia. Situasi sebaliknya dapat terjadi, dimana ada tingkat yang lebih rendah dari sel darah merah daripada biasanya, dan kondisi ini disebut sebagai "anemia". jumlah sel darah merah Dibesarkan dapat ditemukan kebetulan pada orang tanpa gejala, pada tahap awal polisitemia.
1.2. Tujuan
1. Untuk menambah kemampuan kita agar lebih maksimal dalam aplikasi merawat pasien dengan Polisitemia.
2. Untuk mendapat informasi tentang pengertian, klasifikasi, etiologi, gejala klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Polisitemia.
3. Dapat membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan Polisitemia serta mampu mengaplikasikannya dalam praktek keperawatan.
1.3. Manfaat
1. Agar kita sebagai perawat lebih terampil dalam aplikasi terhadap pasien dengan Polisitemia.
2. Agar dapat informasi lebih sehingga dapat digunakan sebagai pedoman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
Polisitemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.
Polisitemia adalah suatu kondisi yang jarang terjadi di mana tubuh terlalu banyak memproduksi sel darah merah . Ada dua jenis utama polisitemia: polisitemia vera dan polisitemia sekunder . Penyebab, gejala, dan perawatan dari dua kondisi yang berbeda-beda. Polisitemia Vera lebih serius dan dapat mengakibatkan komplikasi kritis lebih dari polisitemia sekunder .
Sel darah tubuh diproduksi di sumsum tulang ditemukan di beberapa tulang, seperti tulang paha. Biasanya produksi sel darah diatur oleh tubuh sehingga jumlah sel darah baru dibuat untuk menggantikan sel-sel darah yang lama karena mereka mati.
Dalam polisitemia, proses ini tidak normal karena berbagai penyebab dan menghasilkan terlalu banyak sel darah merah dan kadang-kadang sel-sel darah lainnya. Hal ini menyebabkan penebalan darah.
2.1.2 Gejala
Gejala-gejala polisitemia bervariasi tergantung dari penyebabnya dan adanya komplikasi. Gejala polisitemia vera dapat mencakup pusing , sakit kepala , kemerahan pada wajah, kesulitan bernafas, kelelahan, gatal setelah mandi panas, limpa membesar , kelesuan, dan gangguan visual.Gejala sekunder polisitemia meliputi kelesuan, hipertensi , dan sakit kepala .
2.1.3 Penyebab
Berikut ini adalah daftar penyebab atau kondisi yang mendasarinya (lihat juga mendiagnosis penyebab yang mendasari polisitemia) yang mungkin dapat menyebabkan polisitemia meliputi:
• Terpapar Karbon monoksida kronis
• Dehidrasi
• Ibu merokok
• Kegagalan pernafasan
• Bayi dari ibu diabetes
• Tumor ginjal
• polycythemia Akut myelofibrosis
• Bawaan polisitemia
• Methmoglobin reduktase kekurangan
• Paru arteriovenosa fistula - polisitemia
• Adenokarsinoma ginjal
• Feokromositoma
• Penyakit ginjal kronis
• Burns
• Penyakit jantung bawaan
• Stress
• Polisitemia vera rubra
• Penyakit Cushing
• Syok
• Diare
• Muntah
• Merokok,
• Penyakit paru kronis,
• Tumor Hati ,
• Brain tumor,
• Tumor rahim ,
• Penyakit paru-paru,
• Sindrom Cushing ,
• Adrenal adenoma ,
• Pseudopolycythaemia ,
• Arterio-paru vena malformasi ,
• Penyakit paru obstruktif kronik
2.1.4 Patofisiologi
Terdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.
1. Polisitemia relatif berhubungan dengan hipertensi, obesitas, dan stress. Dikatakan relatif karena terjadi penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan.
2. Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena rangsangan eritropoietin yang kuat.
3. Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar eritropoietin. Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah hipoksia.
Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi abnormal masih belum diketahui.
Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi. Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus kinase-2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah.
Pada keadan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi aktivasi signal transducers and activators of transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel (nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor.
Pada penderita PV, terjadi mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol. Oleh karena itu, proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit hematopoetic growth factor.
Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat. Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya jumlah platelet. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom Budd-Chiari.
Fungsi platelet penderita PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan. Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan resiko pirai dan batu ginjal.
2.1.5 Komplikasi
Waktu tidak diobati, polisitemia vera dapat mengakibatkan komplikasi seperti pembekuan darah , perdarahan, leukemia myelogenous akut , ulkus peptikum , perdarahan gastrointestinal , serangan jantung dan stroke.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik, yaitu ada tidaknya pembesaran limpa dan penampilan kulit (eritema).
2. Pemeriksaan Darah
Jumlah sel darah ditentukan oleh complete blood cell count (CBC), sebuah tes standar untuk mengukur konsentrasi eritrosit, leukosit dan trombosit dalam darah. PV ditandai dengan adanya peningkatan hematokrit, jumlah sel darah putih (terutama neutrofil), dan jumlah platelet.
Pemeriksaan darah lainnya, yaitu adanya peningkatan kadar serum B12, peningkatan kadar asam urat dalam serum, saturasi oksigen pada arteri, dan pengukuran kadar eritropoietin (EPO) dalam darah.
3. Pemeriksaan Sumsum tulang
Meliputi pemeriksaan histopatologi dan nalisis kromosom sel-sel sumsum tulang (untuk mengetahui kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada sumsum tulang akibat mutasi dari gen Janus kinase-2/JAK2).
2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan pasien. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup pasien.
Tujuan terapi yaitu:
1. Menurunkan jumlah dan memperlambat pembentukan sel darah merah (eritrosit).
2. Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-vena, serebrovaskular, trombosis vena dalam, infark miokard, oklusi arteri perifer, dan infark pulmonal.
3. Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.
Prinsip terapi
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum terkendali.
3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda.
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
• Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis
• Leukositosis progresif
• Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik
• Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
Terapi PV
1. Flebotomi
Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin satu-satunya bentuk pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien, kadang-kadang selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.
Pada flebotomi, sejumlah kecil darah diambil setiap hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Jika nilai hematokrit sudah mencapai normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan, sesuai dengan kebutuhan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit putih dan <42% pada pria kulit hitam dan perempuan. 2. Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi sel darah merah atau konsentrasi platelet) Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Lebih baik menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada pasien uisa muda. Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan flebotomi atau diberikan sebagai pengganti flebotomi. Kemoterapi yang dianjurkan adalah Hidroksiurea (dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang merupakan salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik karena dianggap lebih aman, tetapi masih diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka panjang. Penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian, FDA masih membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV. Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3 minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit: pada pria < 45% dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%.
3. Fosfor Radiokatif (P32)
Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu cara untuk menekan sumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian pertama P32 :
• Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan.
• Tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
4. Kemoterapi Biologi (Sitokin)
Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang digunakan adalah Interferon (Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan).
5. Pengobatan pendukung
1. Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
2. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA).
3. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
4. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
5. Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika hidroksiurea tidak memberikan toleransi yang baik atau dalam kasus trombositosis sekunder (jumlah platelet tinggi). Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum. Pasien yang lebih tua dan pasien dengan penyakit jantung umumnya tidak diobati dengan anagrelid.
Bab III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Pemeriksaan fisik
• Peningkatan warna kulit
• Gejala-gejala kelebihan beban sirkulasi (Dispneu,batuk kronis,peningkatan tekanan darah, pusing dan lain-lain)
• Gejala-gejala trombosis (Angina), disebabkan oleh peningkatan viskositas darah.
• Splenomegali dan hepatomegali
• Gatal, khususnya setelah mandi air hangat yang diakibatkan oleh hemolisis sel darah yang tidak matang
• Riwayat perdarahan hidung
3.2 Diagnosa Keperawatan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan sel darah merah dan volume darah.
Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembentukan trombus sekunder.
Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan rencana tindakan, kesulitan penyesuaian terhadap kondisi kronis.
3.3 Intervensi
Dx 1
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, volume cairan pada tubuh klien berada dalam batas normal
1. Batasi masukan cairan bila gejala kelebihan cairan terjadi
R : Untuk mencegah kelebihan cairan lebih lanjut
2. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan
R : Farmakoterapi sepanjang hidup diperlukan secara efektiv untuk mengontrol polisitemia vera
Dx 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan klien berada dalam keadaan normal
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif
R : Imobilisasi mempredisposisikan klien pada pembentukan trombus
2. Anjurkan masukan cairan bila tidak ada gejala-gejala kelebihan beban cairan
R : Cairan membantu menurunkan viskositas darah
3. Pantau hasil lab darah lengkap dan status vaskuler perifer setiap 8 jam
R : Untuk mendeteksi komplikasi dini
Dx 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan agar pengetahuan klien mengenai perubahan penatalaksanaan di rumah dapat terpenuhi
1. Evaluasi pemahaman klien mengenai kondisi dan terapi klien
R : Kepatuhan ditingkatkan bila klien memahami hubungan antara kondisi dan terapi yang mereka dapatkan
2. Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang mengalami penyakit kronis.
R : Pengungkapan perasaan memudahkan koping serta mengurangi ansietas
3. Instruksikan klien untuk mencari pertolongan medis bila gejala-gejala kelebihan beban sirkulasi terjadi
R : Intervensi diperlukan untuk mencegah kerusakan jaringan permanen
3.4 Evaluasi
1. Tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Bunyi nafas bersih
3. Penurunan berat badan
4. CRT < 2 detik
5. Tidak cyanosis
6. Akral hangat
7. Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan rencana tindakan
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
1.Polisitemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah sel darah merah akibat pembentukan sel darah merah yang berlebihan oleh sumsum tulang.
2. Gejala bervariasi tergantung dari penyebab dan komplikasi
3. Dx yang dapat muncul :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan sel darah merah dan volume darah.
2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembentukan trombus sekunder.
3. Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi dan rencana tindakan, kesulitan penyesuaian terhadap kondisi kronis.
Saran
Untuk lebih mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Polisitemia Vera,mahasiswa harus memahami benar tentang definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, serta penatalaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani,wiwik.Andi Sulistyo W.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.Salemba Medika:Jakarta
http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001649
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.wrongdiagnosis.com/p/polycythemia/symptoms.htm
Langganan:
Postingan (Atom)