Tampilkan postingan dengan label ASKEP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ASKEP. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Mei 2011

ECT


PERAN PERAWAT
DALAM ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum.
Pengobatan ECT tetap kontroversial dan beberapa pandangan yang saling bertentangan tentang hal itu. ECT saat ini sah walaupun efek dari ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui, terapi ini efektif tidak nyeri dan aman (angka kematian lebih sedikit daripada terapi lain atau pada yang tidak diobati : 0,01-0,03 % dari pasien yang diterapi).
Electro Convulsive Therapy/ ECT, diperkenalkan oleh Carletti dan Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT juga dikenal sebagai terapi kejut listrik, digunakan sebagai perawatan akut rumah sakit pada pasien depresi perilaku yang agitasi atau pasien yang bunuh diri, psikotik, atau berbahaya bagi orang lain.

1.2.   Tujuan
         Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1.       Mempelajari Electro Convulsive Therapy/ ECT.
2.       Mempelajari Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.

1.3.   Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
-          Bagi mahasiswa agar memahami Electro Convulsive Therapy/ ECT dan penggunaannya serta Asuhan Keperawatan pasien yang diberikan terapi ECT.
-          Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi terapi ECT.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PERAN PERAWAT
Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan. Beberapa elemen peran perawat professional meliputi:
a.      Care giver (sebagai pemberi asuhan keperawatan)
Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada pasien, menggunakan pendekatan proses keperawatan.
b.      Client advocate (sebagai pembela untuk melindungi pasien)
Sebagai advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara pasien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela kepentingan pasien dan membantu pasien memahami semua informasi dan upeya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun professional.
c.         Counseller (sebagai pemberi bimbingan-konseling pasien)
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi pasien terhadap keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada pasien, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas.
d.      Educator (sebagai pendidik pasien)
Sebagai pendidik pasien perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya malalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medic yang diterima sehingga pasien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.
e.                Collaborator (sebagai anggota tim kesehatan yang dituntut untuk dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain)
Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencan maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna memenuhi kebutuhan kesehatan pasien.
f.         Coordinator (sebagai coordinator, agar dapat memanfaatkan sumber-sumber dan potensi pasien)
Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun kemampuan pasien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun tumpang tindih.
g.      Change agent (sebagai pembaru yang selalu dituntut untuk mengadakan perubahan-perubahan)
Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap, bertingkah laku, dan meningkatkan keterampilan pasien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan pasien dan cara memberikan keperawatan kepada pasien
h.      Consultan (sebagai sumber informasi yang dapat membantu memecahkan masalah pasien)
Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik lain.

2.2.  TERAPI KEJANG LISTRIK (ELECTRO CONVULSIVE THERAPY/ ECT)
A.    Pengertian
Electro Convulsive Therapy/ ECT, pertama kali diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia, Ugo Carletti dan Lucio Bini pada tahun 1937 sebagai terapi yang besifat somatic terhadap pasien dengan gangguan mental. ECT digunakan secara luas pada tahun 1950-an dan 1960-an untuk berbagai kondisi. Sekarang ECT hanya boleh digunakan dalam jumlah yang lebih kecil dan pada kondisi yang lebih serius.
ECT atau yang lebih dikenal dengan elektroshock atau terapi kejut listrik adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Diperkirakan hampir 1 juta orang di dunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu. ECT efektif pada hampir 75% pasien yang menjalankan prosedur dengan benar.
Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua temples. (Stuart Sundeen, 1998).
Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik umum. (Szuba and Doupe, 1997).
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
Terapi ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi, arus listrik dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien dan dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.
Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran, kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang, dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks, penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.

B.     Prinsip Terapi
Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respons terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan.
1.      Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.
2.      Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif atau depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan 10-20 terapi, sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali.
ECT biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari, selama dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah mulai terlihat setelah 2-6 terapi.
3.      Antidepresan rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan tinggi.
4.      ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka tidak ingin menjalaninya lagi.

C.    Indikasi Pemberian ECT
ECT adalah suatu prosedur yang serius, gunakan hanya pada keadaan yang direkomendasikan. Sangat tidak bijaksana jika kita melakukannya pada setiap pasien yang tidak membaik.
Electroconvulsive terapi digunakan untuk mengobati : 
1.      Gangguan afek yang berat : pasien dengan penyakit depresi berat atau penyakit mental lainnya dan gangguan bipolar (mania) yang tidak berespon terhadap obat anti depresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat karena cukup beresiko (terutama pada orang tua yang memiliki kondisi medis).
ECT adalah salah satu cara tercepat untuk mengurangi gejala pada orang yang menderita mania atau depresi berat. ECT umumnya digunakan sebagai langkah terakhir ketika penyakit tidak merespon obat atau psikoterapi. Pasien dengan depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT 80-90% dibandingkan dengan antidepresan 70% atau lebih). Terapi ECT biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih ringan, yaitu gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan perasaan alam depresi.
2.      Gangguan skizofrenia (Katatonia, stupor, paranoid, kegaduhan akut) : skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberika respon yang baik dengan ECT. Cobalah anti psikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delirium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe skizoafektif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia kronis, ECT tidak terlalu berguna/ tidak efektif.
3.      Pasien dengan bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu  pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik.
ECT juga digunakan ketika pasien parah menimbulkan ancaman bagi diri mereka sendiri atau orang lain dan itu berbahaya bila menunggu sampai obat-obatan berpengaruh.
4.      Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung/ gangguan hantaran jantung yang sudah ada sebelumnya dan selama masa kehamilan khususnya trimester pertama (ECT lebih aman untuk kehamilan). Namun diperlukan pertimbangan khusus jika ingin melakukan ECT bagi ibu hamil, anak-anak dan lansia karena terkait dengan efek samping yang mungkin ditimbulkannya.
5.      Pada pasien hypoaktivitas dan hiperaktivitas, kurang tidur, gangguan makan/minum dan perilaku bunuh diri dan lain-lain.

D.    Kontra Indikasi Pemberian ECT
Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya tumor pada otak.
1.      Resiko sangat tinggi
-       Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek anestesi umum.
-       Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat meningkatkan tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa adanya papiledema sebelum melakukan ECT.
-       Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat melakukan prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. Tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2.      Resiko sedang
-       Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi (pelemas otot)
-       Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.
-       Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur tulang besar, glaukoma, retinal detachment.

E.     Efek Samping dari Pemberian ECT
Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu sampai beberapa bulan setelah perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia retrograde terhadap peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde, gangguan kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan karena masih belum terbukti secara pasti.
Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :
Cardiovaskuler :
1.      Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)
2.      Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)
3.      ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak diindikasikan untuk ECT.

Efek Cerebral :
1.      Peningkatan konsumsi oksigen.
2.      Peningkatan cerebral blood flow
3.      Peningkatan tekanan intra cranial
4.      Amnesia (retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi, berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organisitas sebelumnya.

Efek lain :
1.      Peningkatan tekanan intra okuler
2.      Peningkatan tekanan intragastric
3.      Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang singkat), pusing.
4.      Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.
5.      Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila relaksasi otot baik.
6.      Resiko anestesi pada ECT
7.      Kematian dengan angka mortalitas 0,002%

F.     Perlengkapan Untuk Terapi ECT
a.       Perlengkapan dan peralatan tindakan, termasuk perekat electrode dan gel, kasa, alcohol, larutan garam (saline), electrode EEG, dan kertas grafik.
b.      Perlengkapan untuk memantau, termasuk Elektro Kardio Graf (EKG) dan electrode EKG.
c.       Alat pengukur tekanan darah (2), stimulator saraf perifer dan oksimeter denyut nadi.
d.      Stetoskop.
e.       Palu reflex.
f.       Peralatan untuk intravena.
g.      Balok penggigit dengan tempatnya.
h.      Alat pengikat dengan kasur yang keras dan berisi pengaman dengan tempat berbaring yang dapat diangkat bagian kaki dan kepala.
i.        Peralataqn penghisap lendir (suction).
j.        Perlengkapan ventilasi, termasuk selang, masker. Saluran udara oral, perlengkapan intubasidengan system pemberian oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif.
k.      Obat-obat untuk keadaan darurat sebagaimana yang direkomendasikan oleh staf anestesi.
l.        Berbagai obat-obatan yang tidak disiapkan oleh staf anestesi untuk pengobatan medic selama ECT seperti labetalol, emolol, glikopirolate, karein, kurare, midazolam, diazepam, thiopental sodium (pentotal), metoheksital sodium (brevital) dan suksinilkolin.

2.3. PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.      Kelengkapan data yang ada kaitannya dengan terapi ini :
a.       Pemeriksaan fisik terutama Electrokardiogram (pemeriksaan jantung) dan tanda-tanda vital Temperature Nadi Pernafasan Tekanan Darah
b.      Riwayat medis standar termasuk status neurologic
c.       Thorax foto dan tulang belakang,
d.      Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan (pemeriksaan darah perifer lengkap, kimia darah, urinalisis, VDRL, CT Scan atau EEG jika status neurologi abnormal).
e.       Suatu kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed Concent).
1.      Inform Consent dari pasien yang kompeten dan dengan suka rela.
2.      Inform Consent dari wali pada pasien suka rela, tetapi tidak kompeten dan pada pasien yang tidak dapat memberikan keputusan terapi.
3.      Persetujuan pengadilan untuk pemberian ECT pada pasien yang menolak dan tidak secara sukarela menerima terapi ECT, yang dapat berbahaya bagi dirinya atau bagi orang lain. Pada beberapa Negara, ECT dalam keadaan apapun tidak dapat diberikan pada pasien dengan pelaksanaan tak sukarela.

Rabu, 16 Maret 2011

INFEKSI PADA NEONATUS

INFEKSI PADA NEONATUS

_ Di Indonesia mrpk masalah yang gawaDi gawat
_ Lebih sering terjadi pada BBLR
_ Lebih banyak ditemukan pada bayi lahir diRS
_ Mrpk penyakit berat & menyebabkan kematian

PatogenesiPatogenesis
Blanc (1961) membagi 3 golongan :
1. Infeksi antenatal
_melalui sirkulasi plasenta
_melalui infeksi genitalia ibu
2. Infeksi intranatal
mikroorganisme masuk melalui rongga amnion stlh ketuban pecah (biasanya pd KPD)
3. Infeksi pascanatal
terjadi stlh bayi lahir lengkap akibat kontaminasi alat & perawatan yg tdk steril
Pembagian infeksi perinatal
Mnrt berat ringannya, dibagi 2 golongan :
_ Infeksi berat (major infection)
_ Infeksi ringan (minor infection)

SEPSIS NEONATORUSEPSIS NEONATORUM
_infeksi berat pada neonatus dgn gejala2 sistemik
Faktor risiko:
_ Infeksi/febris pd ibu
_ Air ketuban bau, warna hijau
_ KPD, lebih dr 24 jam
_ Prematuritas & BBLR
_ Partus lama
_ Gawat janin atau depresi neonatus
Lanjutan sepsis neonatoruLanjutan neonatorum
Tanda & gejala :
_ Bayi tdk mau/tdk bisa menetek
_ Bayi tampak sakit, tdk aktif, & sangat lemah
_ hipotermia/hipertermia, tetapi dpt normal
_ Bayi gelisah& menangis
_ Bayi kesulitan napas
_ Dpt disertai kejang, pucat, atau ikterus
Lanjutan sepsis neonatorum

Prinsip pengobatan:
_ Metabolisme tbh dipertahankan kebutuhan
nutrisi dipenuhi
_ Pengobatan antibiotika scr IV
_ Ampisilin 200 mg/kg/hr 3-4x peberian & gentamisin 5
mg/kg/hr 2x pemberian
_ Kloramfenikol 25 mg/kg /hr 3-4x pemberian
_ Pemeriksaan laboratorium rutin
_ Biakan darah & uji resistensi
_ Pungsi lumbal & biakan cairan serebrospinalis &
uji resistensi
_ Tindakan & pengobatan lain diberikan atas
indikasi
OFTALMIA NEONATORUOFTALMIA NEONATORUM
_ Infeksi mata oleh kuman Neisseria
gonorrhoeae saat bayi lewat jalan lahir
Gejala :
_ Konjungtiva hiperemis, edema palpebra,
ada pus, mengeluarkan sekret kental
kehijauan/kekuningan
_ Stadium lanjut_korne terserang_buta
_ Diagnosis ditegakkan dgn pemeriksaan
sekret mata
Lanjutan oftalmia neonatoruLanjutan neonatorum
Tindakan :
_ Bayi hrs diisolasi
_ Cuci mata bayi dgn lart garam fisiologis sampai
lendir hilang, keringkan dgn kasa steril
_ Beri tetes mata/salep antibiotika
_ Antibiotika setiap 15 mnt pd jam
pertama_setiap 1 jam selama 24 jam_3x
sehari selama 3 hr sampai mata normal
_ Beri antibiotika IM pd pd bag dpn lateral paha
(penisilin kristalin) atau ampisilin per oral
_ Obati ortu bayi dr gonorrhoeae
SEPTIKEMISEPTIKEMIA
_ Infeksi yg menyebar ke slrh tbh mell peredaran
drh ( dpt menyebabkan kematian)
Gejala :
_ bayi sulit menetek
_ Muntah
_ terlihat tdk sehat
_ Suhu diatas/dibawah normal
_ tampak malas, mengantuk, gelisah, da ada
bercak-bercak perdarahan pd kulitnya
_ tali pusat bau & bernanah
_ batuk & pernapasan cuping hidung
Lanjutan septikemiLanjutan septikemia
Tindakan :
_ Menjelaskan pd ortu
_ Berikan antibiotika IM ampisilin atau
prokain penisilin tiap 6 jam
_ Antarkan bayi ke RS
_ Jagalah bayi tetap hangat
_ Terus berikan ASI
TETANUS NEONATORUTETANUS NEONATORUM
_Tjd pd bayi br lahir krn infeksi pd luka pemotongan tali
pusat
Gejala :
_ Bayi tdk dpt menetek, kejang2, leher&rahang kaku, serta
sulit menelan
Tindakan :
_ Segera bawa ke RS
_ Berikan obat penenang IM _ diazepam/luminal tiap 4
jam
_ Usahakan jln napas terbuka, hindarkan dr cahaya,
sentuhan atau pemindahan
_ Penuhi kebutuhan nutrisi&eliminasi sesuai kondisi
pasien
Pencegahan : pastikan ibu hamil mendpt suntikan TT,
gunakan alat steril saat menolong persalinan.
MENINGITIS PADA NEONATUMENINGITIS NEONATUS
_biasanya didahului oleh sepsis
Gejala :
- mula2 spt sepsis kmdn disertai kejang,
UUB menonjol, kaku kuduk
Pengobatan :
- Sama dgn pengobatan sepsis
neonatorum, hanya beda dlm lama
pengobatan_21 hari
PNEUMONIA KONGINETAPNEUMONIA KONGINETAL
_ Tjd intrauterin krn inhalasi likuor amnion yg
septik
Gejala :
- Apneu neonatal
- Dicurigai bila ketuban pecah lama, keruh, bau
Pengobatan :
_ Resusitasi pd bayi br lahir
_ Pertahankan suhu tbh
_ Beri antibiotika spektrum luas_
ampisilin+gentamisin
INFEKSI TRAKTUS URINARIUINFEKSI URINARIUS
Gejala :
- demam, tdk mau minum, muntah, pucat, &
BB menurun
- Diagnosis ditegakkan dgn pemeriksaan
urin_jml leukosit >15/mm3
Pengobatan :
- Pemberian ampisilin & aminoglikosida
sambil menunggu hsl biakan urin & uji
resistensi
OSTEITIS AKUOSTEITIS AKUT
Penyebab utama _ Staphylococcus aureus
Gejala :
- Suhu tbh tinggi
- Bayi tampak sakit berat
- Tdpt pembengkakan & bayi nangis saat bag yg
terkena digerakkan_biasanya pd maksila &
pelvis
Pengobatan :
- Pemberian antibiotika _ kloksasilin 50 mg/kg
BB/hr scr parenteral
- Lokal ditemukan aspirasi pd pus
OMFALITIOMFALITIS
_infeksi pd pangkal umbilikus krn infeksi Staphylococcus
aureus
Gejala :
- Tdpt radang & mengeluarkan nanah, merah & ada
edema
- Pd keadaan berat_dpt menjalar ke hepar
- Pd keadaan kronik_tjd granuloma
Pengobatan :
- Berikan salep yg mengandung neomisin&basitrasin,
serta salep gentamisin
- Bila tdpt granuloma_diberi Argentinitras 3%
Pencegahan :
- Perawatan tali pusat yg baik
- Tali pusat ditutup dgn kasa steril & diganti setiap hr
MONILIASIMONILIASIS
- Disebabkan jamur Candida albicans
- Tdk menimbulkan gejala
- Pd kondisi tbh yg menurun atau pd penggunaan
antibiotika/kortikosteroid yg lama_dpt tjd pertmbhn
berlbhn jamur_stomatitis_kematian
STOMATITIS
_ Dimulai sbg bercak putih di lidah, bibir, & mukosa mulut
Pengobatan :
- Lokal dpt diberikan gentian violet 0,5% dioleskan pd
lidah & mukosa mulut
- Obat lain_nistatin dgn dosis 3x 100.000 unit/hr
- Dpt juga diberi ampoterisin (fungilin) selama 1 minggu
Pencegahan Infeksi pd NeonatuPencegahan Neonatus
Cara pencegahan infeksi :
a. Sblm konsepsi tjd_imunisasi Rubela&Tetanus
b. Beri pengobatan adekuat pd ibu yg terinfeksi
selama hamil
c. Pd persalinan_ intervensi dibatasi
d. Stlh lahir:
- lindungi& perkuat kemampuan pertahanan
- batasi infeksi yg akan mengenai bayi
Yg hrs dilakukan dlm pencegahan ini :
1. Berikan ASI
2. Hindari perlukaan kulit & selaput lendir
3. Berikan kekebalan/imunisasi
4. Jaga & pertahankan lingk atau peralatan tetap
bersih
5. Cuci tangan
6. Peralatan satu utk tiap bayi
7. Orang yg terinfeksi jauhkan dr bayi
8. Bayi yg terinfeksi hrs diisolasi
9. Hindari pemberian antibiotika yg berlebihan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dari usia manusia sebagai makhluk hidup yang terbatas oleh suatu putaran alam dengan batas usia 55 tahun / lebih.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang sering terdapat pada usia pertengahan atau lebih, yang ditandai dengan tekanan darah lebih dari normal. Hipertensi menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang mengakibatkan makin meningkatnya tekanan darah.
Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur hipertensi menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan pada lansia. Pada lansia hipertensi menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit jantung koroner. Lebih dari separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskular. Secara nyata kematian akibat stroke dan morbiditas penyakit kardiovaskuler menurun dengan pengobatan hipertensi

1.2         Tujuan
1.2.1             Mengetahui definisi dari hipertensi pada lansia
1.2.2             Dapat menjelaskan penyebab terjadinya hipertensi pada lansia.
1.2.3             Mampu menjelaskan patofisiologi hipertensi pada lansia
1.2.4             Mengetahui askep lansia dengan hipertensi

1.3         Manfaat
1.3.1             Memahami  definisi dari hipertensi pada lansia
1.3.2             Memahami  penyebab terjadinya hipertensi pada lansia.
1.3.3             Memahami  patofisiologi hipertensi pada lansia
1.3.4             Memahami askep lansia dengan hipertensi

BAB II
PEMBAHASAN


2.1         Pengertian
Hipertensi merupakan gangguan kesehatan yang ditandai adanya tekanan sistolik >140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO (1978), tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

2.2         Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu :
·      Hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
·      Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas :
·      Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.
·      Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

2.3         Etiologi
Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor, antara lain:
·      Kelelahan
·      Proses penuaan
·      Keturunan                     
·      Diet yang tidak seimbang
·      Stress                           
·      Sosial budaya
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan–perubahan pada :
·      Elastisitas dinding aorta menurun
·      Katub jantung menebal dan menjadi kaku
·      Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun. Kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
·      Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
·      Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
·      Faktor keturunan
Menurut data dari statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
·      Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
a.    Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat)
b.    Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan)
c.    Ras (ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih)
·      Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a.    Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr)
b.    Kegemukan atau makan berlebihan
c.    Stress
d.   Merokok
e.    Minum alcohol
f.     Minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin)

Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
·      Glomerulonefritis
·      Pielonefritis
·      Nekrosis tubular akut
·      Tumor
·      Vascular
·      Aterosklerosis
·      Hiperplasia
·      Trombosis
·      Aneurisma
·      Emboli kolestrol
·      Vaskulitis
·      Kelainan endokrin
·      DM
·      Hipertiroidisme
·      Hipotiroidisme
·      Saraf
·      Stroke
·      Ensepalitis
·      SGB
·      Obat–obatan
·      Kontrasepsi oral
·      Kortikosteroid

2.4         Tanda dan gejala
Tanda dan gejala hipertensi pada lansia secara umum adalah :
·      Sakit kepala                          
·      Perdarahan hidung
·      Vertigo                                   
·      Mual muntah
·      Perubahan penglihatan            
·      Kesemutan pada kaki dan tangan
·      Sesak nafas                   
·      Kejang atau koma
·      Nyeri dada
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
·      Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
·      Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah, mual muntah, epistaksis, kesadaran menurun.







2.5         Patofisiologi
 























2.6         Komplikasi
Akibat atau komplikasi dari penyakit hipertensi yang dapat terjadi pada lansia adalah :
·      gagal jantung
·      gagal ginjal
·      stroke (kerusakan otak)
·      kelumpuhan.

2.7         Pemeriksaan Penunjang
·      Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel–sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor–faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas dan anemia
·      BUN
Memberikan informasi tentang perfusi ginjal
·      Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi)
·      Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
·      Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
·      Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
·      Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
·      Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab)
·      Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal atau adanya diabetes.
·      Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
·      Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
·      IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal/ureter.
·      Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
·      CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
·      EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi

2.8         Penatalaksanaan
·      Pencegahan Primer
Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata, adanya hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi, obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk:
1.    Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb.
2.    Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
3.    Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam.
4.    Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.  
·      Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita hipertensi berupa:
1.    Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat maupun dengan tindakan-tindakan seperti pada pencegahan primer.
2.    Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara normal dan stabil mungkin.
3.    Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol.
4.    Batasi aktivitas.
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
·      Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
a.    Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
1.    Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
2.    Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
3.    Penurunan berat badan
4.    Penurunan asupan etanol
5.    Menghentikan merokok
b.    Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah dianjurkan untuk penderita hipertensi. Macam olah raganya yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
c.    Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
1.    Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
2.    Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
d.   Pendidikan Kesehatan (Penyuluhan)
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
·      Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi (JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
a.    Dosis obat pertama dinaikkan.
b.    Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama.
c.    Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 :
Alternatif yang bisa ditempuh :
a.    Obat ke-2 diganti
b.    Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4 
Alternatif pemberian obatnya :
Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi
Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan (perawat, dokter) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.

2.9         Asuhan Keperawatan
A.  Pengkajian
·      Aktifitas/ istirahat
Gejala    :  Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda    : Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea
·      Sirkulasi
Gejala    : Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner aterosklerosis.
Tanda    : Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disrythmia, denyutan nadi jelas, bunyi jantung  murmur, distensi vena jugularis
·      Integritas Ego
Gejala    : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple (hubungan, keuangan, pekerjaan)
Tanda    : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang (khususnya sekitar mata), peningkatan pola bicara
·      Eliminasi
Gejala    :  Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal ), obstruksi.
·      Makanan/ cairan
Gejala    : Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol), mual, muntah, perubahan berat badan (naik/ turun), riwayat penggunaan diuretik.
Tanda    : Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem.
·      Neurosensori
Gejala    :  Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital, gangguan penglihatan.
Tanda    :  Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir,memori, perubahan retina optik. Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman tangan.
·      Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala    : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/ masssa.
·      Pernafasan
Gejala    : Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea, batuk dengan/ tanpa sputum, riwayat merokok.
Tanda    :  Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/ penggunaan alat bantu pernafasan.
·      Keamanan
Gejala    : Gangguan koordinasi, cara brejalan.
B.  Pemeriksaan Diagnostik
·      Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan (viskositas).
·      BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal.

·      Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).
·      Kalsium serum
·      Kalium serum
·      Kolesterol dan trygliserid
·      Urin analisa
·      Foto dada
·      CT Scan
·      EKG
C.  Kemungkinan Diagosa Keperawatan
1.        Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b/d peningkatan tekanan vaskuler serebral.
2.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi inadekuat
3.        Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
4.        Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic.
5.        Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangn
6.        Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi  pembuluh darah.
7.        Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik atau persepsi.
D.  Intervensi
1.        Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan   :    Menghilangkan rasa nyeri
Kriteria hasil :
·      Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol.
·      Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
Intervensi :
·      Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/   Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
·      Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.
R/   Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral, efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.
·      Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.
     R/   Aktifitas yang meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatan vaskuler serebral.
·      Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
R/      Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien.
·      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll.
R/      Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.

2.        G3 pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat
Tujuan   :    kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
·      Klien menunjukkan peningkatan berat badan
·      Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
Intervensi
·      Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi.
R/      Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya aterosklerosis, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.

·      Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
R/      Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir..
·      Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan dimana makan dilakukan, lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan.
R/      Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan.
·      Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan).
R/      Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah perkembangan aterogenesis.
·      Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
R/      Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual.

3.        Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
Tujuan   :    tidak terjadi intoleransi aktivitas
Kriteria Hasil :
·      Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
·      Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Intervensi
·      Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20 x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.
R/      Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.
·      Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/      Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
·      Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/      Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
·      Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/      Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
·      Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/      Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.

4.        Inefektif koping individu b.d mekanisme koping tidak efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistik.
Tujuan   :    klien menunjukkan tidak ada tanda-tanda inefektif koping
Kriteria Hasil :
·      Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
·       menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi
·      mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari dan mengubahnya.

Intervensi
·      Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya : kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan.
R/      Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang, mengatasi hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari.
·      Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk mengatasi/menyelesaikan masalah.
R/      Manifestasi mekanisme koping maladaptif mungkin merupakan indicator marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic.
·      Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya.
R/      Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stressor.
·      Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan.
R/      Keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik.
·      Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketimbang membatalkan tujuan diri / keluarga.
R/      Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya.

5.        Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakitnya.
Tujuan   :    Klien menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai penyakitnya
Kriteria hasil
·      Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan.
·      Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang perlu diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal.
Intervensi
·      Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut.
R/      Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudah dalam menentukan intervensi.
·      Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardivaskuler yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup monoton, merokok, pola hidup penuh stress dan minum alcohol (lebih dari 60 cc/hari dengan teratur).  
R/      Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal.
·      Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
R/      Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinyu, maka perubahan perilaku tidak akan dipertahankan.
·      Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi (pengertian,penyebab,tanda dan gejala,pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes.
R/      Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses penyakit hipertensi.
6.        Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah.
Tujuan   :    Tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria Hasil :
·      Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja jantung
·      Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima,
·      Memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.
Intervensi
·      Observasi tekanan darah
R/      Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keterlibatan vaskuler.
·      Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
R/      Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti vena.
·      Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
R/      S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.
·      Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
R/      Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.
·      Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.
R/      Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.
·      Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.
R/      Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan tekanan darah.
·      Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.
R/      Menurunkan tekanan darah.

7.        Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang pandang, motorik atau persepsi.
Tujuan   :    Tidak terjadi cidera
Kriteria hasil:
·      Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap cedera.
·      Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
·      Meminta bantuan bila diperlukan.
Intervensi:
·      Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan.
R/      Membantu menurunkan cedera.
·      Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien untuk melakukan:
o    Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum digunakan.
o    Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak terdeteksi.
o    Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit dilemaskan dengan lotion emoltion.
R/      Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi klien terhadap suhu.
·      Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan dengan pengunaan alat bantu.
R/      Penggunaan alat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat meyebabkan regangan atau jatuh.
·      Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan di rumah.
R/      Keamanan yang baik meminimalkan terjadinya cidera
E.   Evaluasi
1.      Apakah rasa nyeri pasien / sakit kepala berkurang ?
2.      Apakah pasien sudah bisa beraktifitas sendiri / mandiri ?
3.      Apakah pola nutrisi pasien seimbang atau normal ?

BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
·      Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg
·      Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas
o  Hipertensi
o  Hipertensi sistolik terisolasi
·      Hipertensi pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor
·      Komplikasi hipertensi pada lansia adalah
o  gagal jantung
o  gagal ginjal
o  stroke (kerusakan otak)
o  kelumpuhan.
·      Penatalaksanaan hipertensi pada lansia terdiri atas
o  Pencegahan primer
o  Pencegahan sekunder

3.2         Saran
Diharapkan perawat lebih mengerti tentang konsep hipertensi pada lansia dan disarankan perawat  lebih banyak lagi mencari informasi tentang hipertensipada lansia sehingga bisa menambah wawasan yang lebih maksimal dan dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada lansia dengan baik dan benar

DAFTAR PUSTAKA