Cari Blog Ini

Arsip Blog

Jumat, 11 Maret 2011

DISIPLIN BERBAHASA INDONESIA SEBAGAI PENUNJANG DISIPLIN NASIONAL


            Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada sidang pleno ketiga Kongres Pemuda Indonesia II (28 Oktober 1928) di Jakarta berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sebelas tahun kemudian, Kongres Rakyat Indonesia Desember 1939, yang dipelopori oleh Gabungan Politik Indonesia (Gapi) memutuskan bahwa “bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan”. Pada pasal 36 Bab XV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tercantum bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Demikian proses pengakuan kita bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional (bahasa kebangsaan), dan bahasa negara (bahasa resmi).
            Jika kita berkesempatan sejenak melirik ke beberapa negara tetangga, sudah sewajarnya kita bersyukur kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Kita juga patut berterima kasih kepada para pendahulu yang telah memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa kebangsaan, dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia. Apa yang masih menjadi impian bagi negara-negara tetangga sudah menjadi kenyataan bagi negara kita.
            Dalam kata persatuan dan kebangsaan tersirat makna keesaan, kesatuan, kesamaan, dan ikatan yang utuh. Pengakuan kita terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebangsaan merupakan sarana ampuh meng-ika-kan ke-bineka-an kita bangsa Indonesia. Kalau hal ini kita pahami secara cermat, kebanggaan berbahasa dan kesadaran berbahasa Indonesia semakin meningkat. Dalam kata resmi (yang bermakna sah dari pemerintah, dari yang berwajib, yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang bersangkutan) tersirat dan tercakup makna disiplin.
            Pada akhir-akhir ini dalam berbagai media masa, masalah disiplin ramai diperbincangkan, lebih-lebih dalam kaitannya dengan disiplin nasional. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu dan Zain (1996) dapat kita baca bahwa disiplin bermakna “aturan yang ketat; tata tertib yang harus dipatuhi”. Berdisiplin berarti mematuhi aturan.
            Dalam kaitannya dengan pokok pembicaraan kita di sini, layaklah apabila kita bertanya kepada diri kita sendiri, “Sudahkah kita berdisiplin dalam berbahasa Indonesia?” Perlu disadari bahwa disiplin berbahasa Indonesia yang bermakna kepatuhan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sesuai dengan tata bahasa, justru merupakan penunjang bagi disiplin nasional.
            Peribahasa kita ada yang berbunyi,”Jangan berharap mencapai langit sebelum dapat mencapai langit-langit.” Peribahasa ini mengandung makna kiasan ‘jangan berharap dapat menyelesaikan pekerjaan berat (masalah besar) kalau menyelesaikan pekerjaan ringan (masalah kecil) saja tidak sanggup’. Cukup logis, bukan?
            Nah, sekarang muncul pertanyaan dalam hati kita. Hal-hal apa sajakah yang harus kita disiplini dalam berbahasa Indonesia? Pertama-tama ialah ucapan dalam bahasa lisan. Kita harus menggunakan ucapan baku. Bandingkan data berikut ini:

No.
Lafal Tidak Baku
Lafal Baku
Arti
1
Njombaŋ
jombaŋ
Jombang
2
mbandUŋ
bandUŋ
Bandung
3
nOmər
nOmOr
nomor
4
mənəraŋkən
mənəraŋkan
menerangkan
5
hadlIr
hadIr
hadir
6
ijIn
izIn
izin

Mungkin saja ada yang bertanya, “Ucapan siapa yang dapat kita pakai sebagai panutan dalam berbahasa Indonesia?” Pertanyaan semacam ini sangat wajar dikemukakan. Orang yang dianggap lafal bahasa Indonesianya baik ialah orang yang ketika berbahasa lisan sulit ditebak latar belakang bahasa pertamanya. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Jawa tidak kelihatan logat Jawanya ketika berbahasa Indonesia. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Madura tidak kelihatan logat Maduranya ketika berbahasa Indonesia. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Bali tidak kelihatan logat Balinya ketika berbahasa Indonesia.
            Selain berbahasa lisan, kita pun berbahasa tulis dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin yang harus kita taati dalam berbahasa tulis adalah disiplin menerapkan tata ejaan dan tata istilah. Betapa bangganya kita apabila kesalahan ejaan dapat dihindari dalam berbahasa tulis. Jika kita berdisiplin membaca dan menerapkan pedoman yang tercantum dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Pembentukan Istilah  (yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia), tidak akan kita jumpai kesalahan penulisan yang berkaitan dengan tata ejaan dan tata istilah. Perhatikan data berikut ini.

No.
Penulisan yang Salah
Penulisan yang Benar
1
dirubah, diobah, dirobah
Diubah
2
Maha Tahu, Maha Sayang
Mahatahu, Mahasayang
3
emosionil, strukturil, personil
emosional, struktural, personal
4
panca karsa, sapta pesona, dasa sila
pancakarsa, saptapesona, dasasila
5
analisa, sintesa, diagnose
analisis, sintesis, diagnosis
6
legalisir, koordinir, proklamir
legalisasi, koordinasi, proklamasi
7
(mesin) ketik, diketik
(mesin) tik, ditik
8
tercermin, terpercik
tecermin, tepercik

            Kita mengetahui bahwa bahasa Indonesia menerapkan hukum DM (Diterangkan Menerangkan): kata-kata yang diterangkan mendahului kata-kata yang menerangkan. Dengan ungkapan lain, dalam penggabungan atau susunan kata bahasa Indonesia mempunyai struktur tertentu. Dengan bermodalkan disiplin struktur, kita dapat menghindari pemakaian struktur yang salah seperti lain kali, pertama kali, Simpang Hotel, dan pada lain waktu yang seharusnya kali lain, kali pertama, Hotel Simpang, dan pada waktu lain. Dengan pengetahuan sekadarnya mengenai struktur ini, kita dapat membedakan dengan mudah makna kelompok kata pengusaha wanita dengan wanita pengusaha, pelari wanita dengan wanita pelari, polisi wanita dengan wanita polisi, kelompok kerja dengan kerja kelompok.
            Bahasa Indonesia mempunyai sejumlah kata penunjuk jamak. Kata yang menyertainya tidak perlu lagi diulang atau dijamakkan. Pengetahuan mengenai hal ini akan membantu kita menghindari pemakaian struktur yang salah seperti banyak anak-anak kecil, beberapa aturan-aturan, tidak sedikit orang-orang, para jamaah, dan para hadirin.
            Pembahasan yang telah dikemukakan di atas menyangkut masalah kecermatan atau keefisienan berbahasa. Banyak orang yang menghubungkan kecermatan dengan kehematan, keefisienan dengan keekonomisan. Memang, ada benarnya. Akan tetapi, harus kita pertanyakan pula, apakah yang (kita anggap) hemat, ekonomis itu sudah pasti cermat, efisien. Mari kita ambil data bahasa yang sering muncul. Ada kecenderungan penghematan (yang berlebihan) dalam penggunaan bahasa Indonesia. Frasa terdiri lima bagian, sesuai tuntutan zaman, diterima panitia, terbagi tiga kelompok, dibandingkan kemajuan negara tetangga, berhubungan masa lalu terasa ada yang kurang. Benarkah kita termasuk bangsa yang boros atau tidak hemat bila kita mengucapkan atau menulis frasa di atas dalam bentuk terdiri dari lima bagian, sesuai   dengan tuntutan zaman, diterima oleh panitia, terbagi atas/menjadi tiga kelompok, dibandingkan dengan kemajuan negara tetangga, berhubungan dengan masa lalu?
            Ada juga upaya penghematan yang dilakukan dengan penyingkatan. Bagaimana tanggung jawab kita terhadap singkatan yang disingkat lagi? Data bahasa menunjukkan selain ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kita mengenal AMD (ABRI Masuk Desa); selain inpres (instruksi presiden) kita mengenal IDT (Inpres Desa Tertinggal); selain waria (wanita pria) kita mengenal Perwakos (Persatuan Waria Kotamadia Surabaya).
            Di satu pihak kita mencanangkan penghematan dan pencermatan, tetapi di pihak lain dengan sadar atau tidak sadar justru kita melakukan pemborosan dan kecerobohan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Sungguh merupakan suatu kontradiksi. Marilah kita ambil secara acak data pemakaian bahasa di media cetak atau elektronik seperti: rekan dari pemimpin kita, anak dari teman saya, suami dari adiknya, menjelaskan daripada kemajuan pembangunan, melanggar daripada peraturan yang berlaku, mengevaluasi daripada segala upaya kita, melanjutkan daripada pencarian korban musibah, menguraikan tentang manfaat keluarga berencana, mendiskusikan mengenai masalah kebersihan, yang kurang cermat, yang seharusnya ialah rekan pemimpin kita, anaki teman saya, suami adiknya, menjelaskan kemajuan pembangunan, melanggar  peraturan yang berlaku, mengevaluasi segala upaya kita, melanjutkan pencarian korban musibah, menguraikan manfaat keluarga berencana, mendiskusikan  masalah kebersihan.
            Kita juga dihadapkan pada tindak pemborosan yang dianggap lazim dalam berbahasa Indonesia. Data kebahasaan menunjukkan adanya sebutan Bank BRI. Bukankah dalam singkatan BRI sudah termuat kependekan kata bank; masih perlukah kata bank dimunculkan untuk mendahului singkatan BRI?  Benarkah penyebutan Kepala Sekolah SMA 3 Jombang? Bukankah dalam singkatan SMA sudah termuat kependekan kata sekolah; masih perlukah kata sekolah dimunculkan untuk mendahului singkatan SMA? Gejala sejenis dijumpai juga dalam Persebaya Surabaya, Arema Malang, Persija Jakarta, Unesa Surabaya, dan sejenisnya. 
            Apakah rasa bahasa para pemakai bahasa Indonesia seperti itu tidak tergelitik oleh kesalahan-kesalahan serupa itu? Mungkinkah mereka benar-benar tahu tetapi tidak mau tahu dengan kesalahan sejenis itu? Jangan-jangan mereka tidak pernah tahu atas kesalahan-kesalahan itu. Anehnya kesalahan semacam itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan rendah dan menengah. Masyarakat ilmiah yang berpendidikan tinggi pun yang seharusnya dapat dijadikan panutan dalam berbahasa Indonesia belum tentu mampu meloloskan diri dari kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia.
            Disiplin berbahasa Indonesia yang baik dan benar harus ditingkatkan dan disebarluaskan. Mendisiplinkan diri berbahasa Indonesia merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang bertekat menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1988. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 1995. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo.

Badudu, Jusuf Sjarif. 1995. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar IV. Jakarta: Gramedia.

Badudu, Jusuf Sjarif dan Sutan Mohammad Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Halim, Amran (Ed.). 1884. Politik Bahasa Nasional 1. Jakarta: Balai Pustaka.

Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.





Tidak ada komentar: