Cari Blog Ini

Arsip Blog

Sabtu, 12 Maret 2011

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA ANAK USIA SEKOLAH DENGAN GANGGUAN MORAL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Pendidikan bertujuan bukan hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral, sehingga menghasilkan warga negara excellent. Oleh karena itu pendidikan tidak semata-mata mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan transfer moral bersifat universal, diharapkan peserta didik dapat menghargai kehidupan orang lain tercermin dalam tingkah laku serta aktualisasi diri, semenjak usia SD hingga kelak dewasa menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Dalam kenyataannya manusia Indonesia (khususnya anak-anak remaja) di saat ini, kurang memperhatikan moral yang tercermin dari perilaku tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan seperti terjadi tawuran remaja, kurang menghormati orang tua, kurang mentaati norma-norma keluarga, hidup tidak disiplin. Terlebih pada masa globalisasi manusia Indonesia cenderung berperilaku keras, cepat, akseleratif dalam menyelesaikan sesuatu, dan budaya instan. Manusia dipaksa hidup seperti robot, selalu berada pada persaingan tinggi (konflik) dengan sesamanya, hidup bagaikan roda berputar cepat, yang membuat manusia mengalami disorientasi meninggalkan norma-norma universal, menggunakan konsep Machiavelli (menghalalkan segala cara), mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki moral yang baik, tidak menghargai, peduli, mengasihi dan mencitai sesamanya (Haedar Nashir, 2007: 1).
Dengan diberikannya pendidikan moral bagi anak diharapkan dapat merubah perilaku anak, sehingga jika sudah dewasa lebih bertanggung jawab dan menghargai sesamanya dan mampu menghadapi tatangan jaman yang cepat berubah. Disinilah pentingnya nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai media transformasi manusia Indonesia agar lebih baik, memiliki keunggulan dan kecerdasan di berbagai bidang baik kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan kinestika, kecerdasan logis, musikal, lenguistik, kecerdasan spesial (Habibah, 2007: 1). Peran orang tua (guru) hanya sebatas memberi hal terbaik sesuai dengan jiwa jaman yang sedang dihadapi saat ini, agar nanti bagaikan anak panah lepas dari busurnya menentang, mengatasi permasalahannya sendiri, namun memiliki keunggulan moral yang baik dan luhur.

1.2         Tujuan
1.2.1        Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran umum tentang anak usia sekolah dengan gangguan moral.
1.2.2        Tujuan khusus
·      Untuk lebih memahami perkembangan anak usia sekolah dengan gangguan moral.
·      Untuk memahami dan mengidentifikasi masalah yang biasa muncul pada anak usia sekolah yaitu gannguan moral.
·      Untuk memahami proses keperawatan keluarga pada anak usia sekolah dengan gangguan moral.

1.3         Manfaat
·      Kita lebih memahami perkembangan anak usia sekolah dengan gangguan moral.
·      Kita lebih memahami dan mengidentifikasi masalah yang biasa muncul pada anak usia sekolah yaitu gannguan moral.
·      Kita lebih memahami proses keperawatan keluarga pada anak usia sekolah dengan gangguan moral.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1        Konsep Keluarga
A.      Pengertian
Keluarga  adalah unit terkecil masyarakat, terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. (UU. No 10, 1992). keluarga  adalah kumpulan dua orang / lebih hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dan setiap individu punya peran masing-masing (Friedman 1998).
Whall (1986) dalam analisis konsep tentang keluarga  sebagai unit yang perlu dirawat, ia mendefinisikan keluarga  sebagai kelompok yang mengidentifikasikan diri dengan anggotanya yang terdiri dari dua individu atau lebih yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum, tapi yang berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai sebuah keluarga .
Dapat disimpulkan bahwa keluarga  adalah unit terkecil dari masyarakat dua orang / lebih, memiliki ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi, punya peran masing-masing dan mempertahankan suatu budaya.

B.       Ciri-ciri keluarga
Ciri-ciri keluarga, antara lain sebagai berikut : Diikat tali perkawinan, ada hubungan darah, ada ikatan batin, tanggung jawab masing–masing, ada pengambil keputusan, kerjasama diantara anggota keluarga , interaksi, dan tinggal dalam suatu rumah.

C.      Struktur keluarga
Struktur keluarga  (ikatan darah) : 1.Patrilineal, keluarga  sedarah terdiri sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu berasal dari jalur ayah 2. Matrilineal, keluarga  sedarah terdiri sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi , dimana hubungan itu berasal dari jalur ibu 3. Matrilokal, suami istri tinggal pada keluarga  sedarah istri 4. Patrilokal, suami istri tinggal pada keluarga  sedarah suami 5. keluarga  kawinan, hubungan. Suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga  dan sanak saudara baik dari pihak suami dan istri.
Ciri-ciri struktur keluarga  : 1. Terorganisasi, bergantung satu sama lain 2. Ada keterbatasan, 3. Perbedaan dan kekhususan, peran dan fungsi masing-masing.

D.      Kelompok keluarga  di Indonesia berdasarkan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar
1.         PRASEJATERA, belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal: pengajaran agama, sandang, papan, pangan, kesehatan atau keluarga  belum dapat memenuhi salah satu / lebih indikator KS tahap I.
2.         KELUARGA  SEJAHTERA (KS I) telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, tetapi belum dapat sosial psikologis, pendidikan, KB, interaksi lingkungan.
Indikator : ibadah sesuai agama, makan 2 kali sehari, pakaian berbeda tiap keperluan, lantai bukan tanah, kesehatan : anak sakit, ber-KB, dibawa kesarana kesehatan
3.         KELUARGA  SEJAHTERA II
Indikator : belum dapat menabung, ibadah (anggota keluarga ) sesuai
agama,  makan 2 kali sehari,  pakaian berbeda,  lantai bukan tanah,  kesehatan (idem),  daging/ telur minimal 1 kali seminggu,  Pakaian baru setahun sekali,  Luas lantai 8m2 per orang,  Sehat 3 bulan terakhir,  Anggota yang berumur 15 tahun keatas punya penghasilan tetap,  Umur 10,  60 tahun dapat baca tulis,  Umur 7-15 tahun bersekolah,  Anak hidup 2/lebih, keluarga  PUS saat ini berkontrasepsi.

4.         KELUARGA  SEJAHTERA III
Indikator :  belum berkontribusi pada masyarakat,  ibadah sesuai agama, 
pakaian berbeda tiap keperluan,  lantai bukan tanah,  kesehatan idem,  anggota melaksanakan ibadah,  daging / telur seminggu sekali,  memperoleh pakaian baru dalam satu tahun terakhir,  luas lantai 8 m2 perorang,  anggota keluarga  sehat dalam 3 bulan terakhir.
5.         KS TAHAP III PLUS, dapat memenuhi seluruh kebutuhannya: dasar, sosial, pengembangan, kontribusi pada masyarakat, indikator KS III + (ditambah),  memberikan sumbangan.

E.       Fungsi keluarga
1.         Fungsi afektif dan koping keluarga  memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi stress.
2.         Fungsi sosialisasi keluarga  sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan masalah.
3.         Fungsi reproduksi keluarga  melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan.
4.         Fungsi ekonomi keluarga  memberikan finansial untuk anggota keluarga nya dan kepentingan di masyarakat.
5.         Fungsi fisik, keluarga  memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari sakit.

F.       Tugas perkembangan keluarga  dengan anak usia sekolah
1.         Membantu sosialisasi anak dengan lingkungan luar
2.         Mempertahankan keintiman pasangan
3.         Memenuhi kebutuhan yang meningkat

G.      Masalah keperawatan kesehatan keluarga
Ø  Bahaya fisik
ü  Penyakit
ü  Kegemukan
ü  Kecelakaan
ü  Kecanggungan
ü  Kesederhanaan
Ø  Bahaya Psikologis
ü  Bahaya dalam konsep diri
ü  Bahaya moral
ü  Bahaya yang menyangkut minat
ü  Bahaya dalam penggolongan peran seks
ü  Bahaya dalam perkembangan kepribadian
ü  Bahaya hubungan keluarga

2.2        Konsep Anak Usia Sekolah
A.      Pengertian
Anak usia sekolah merupakan suatu periode yang dimulai saat anak masuk sekolah dasar sekitar usia 6 tahun sampai menunjukan tanda akhir masa kanak-kanak yaitu 12 tahun. Langkah perkembangan selama anak mengembangkan kompetensi dalam ketrampilan fisik, kognitif, dan psikososial. Selama masa ini anak menjadi lebih baik dalam berbagai hal, misalnya mereka dapat berlari dengan cepat dan lebih jauh sesuai perkembangan kecakapan dan daya tahannya.

B.       Perkembangan usia sekolah
Ø  Perkembangan biologis
Saat umur 6-12 tahun, pertumbuhan rata-rata 5 cm pertahun untuk tinggi badan dan meningkat 2-3 kg pertahun untuk berat badan. Selama usia tersebut, anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan ukuran tubuh. Anak laki-laki cenderung kurus dan tinggi, anak perempuan cenderung gemuk. Pada usia ini, pembentukan jaringan lebih cepat perkembangannya daripada otot.

Ø  Perkembangan psikososial
Menurut freud, perkembangan psikoseksualnya digolongkan dalam fase laten, yaitu ketika anak berada dalam fase Oedipus yang terjadi pada masa prasekolah dan mencintai seseorang. Dalam tahap ini, anak cenderung membina hubungan yang erat dan akrap dengan teman sebaya, juga banyak bertanya tentang gambar seks yang dilihat dan dieksploitasi sendiri melalui media.
Menurut Erickson, perkembangan psikoseksualnya berada dalam tahap industri vs inverior. Dalam tahap ini, anak mampu melakukan atau menguasai keterampilan yang bersifst teknologi dan social, memiliki keinginan untuk mandiri, dan berupaya menyelesaikan tugas, inilah yang merupakan tahap industri. Bla tugas tersebut tidak dapat dilakukan, anak akan menjadi inferior. Tahap ini sangat dipengaruhi factor intrinsik (motivasi, kemampuan, tanggungjawab yang dimiliki, kebebasan yang dimiliki, interaksi dengan lingkungan, dan teman sebaya ) dan factor ekstrinsik (penghargaan yang didapat, stimulus, dan keterlibatan orang lain).

Ø  Temperamen
Sifat temperamental yang dialami sebelumnya merupakan factor terpenting dalam perilakunya pada masa ini. Pola perilakunya menunjukkan anak muda bereaksi terhadap situasi yang baru. Pada usia ini, sifat temperamental ini sering muncul sehingga peran orang tua dan guru sangat besar untuk mengendalikannnya. Yang perlu dilakukan orang tua dan guru adalah bersabar, menciptakan situasi baru agar tidak bosan, menjadi figure dalam sehari-hari, selalu memberikan harapan, dan mengurangi ketergantungannya dengan cara memberikan pengertian.

Ø  Perkembangan kognitif
Menurut peaget, usian ini berada dalam tahap operasional konkrit, yaitu anak mengekspresikan apa yang dilakukan dengan verbal dan simbol. Selama periode ini kemampuan anak belajar konseptual mulai meningkat dengan pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda, situasi, dan pengalaman yang dijumpai. Kemampuan anak yang dimiliki dalam tahap opersional konkrit :
a.         Konservasi, menyukai sesuatu yang didapat dipelajari secara konkrit bukan magis.
b.        Klasifikasi, mulai belajar mengelompokkan, menyusun, dan menguruntukan.
c.         Kombinasi, mulai mencoba belajar dengan angka dan huruf sesuai dengan keinginannya yang dihubungkan dengan pengalaman yang diperoleh sebelumnya.

Ø  Perkembangan moral
Masa akhir kanak-kanak, perkembangan moralnya dikatagorikan oleh kohlbherg berda dalam tahap konvesional. Pada tahap ini, anak mulai belajar peraturan-peraturan yang berlaku, menerim peraturan, dan merasa bersalah bila tidak sesuai dengan aturan yang telah diterimanya. Anak mencoba bersikap konsekuen. Ornag tua perlu memberikan suatu imbalan atau hukuman terhadap perilaku anak.

Ø  Perkembangan spiritual
Anak usia sekolah menginginkan segala sesuatunya adalah konkrit atau nyata dari pada belajar tentang “God”. Mereka mulai tertarik terhadap surag dan neraka sehingga cenderung melakukan atau mematuhi peraturan, karena takut bila masuk neraka. Anak mulai belajar tentang alam nyata dan sulit memahami simbol-simbol supranatural sehingga konsep-konsep religius perlu disajiakan secara konkrit atau nyata dan juga mencoba menghubungkan fenomena yang terjadi dengan logika.

Ø  Perkembangan bahasa
Pada usia ini terjadi penambahan kosakata umum yang berasal dari berbagai pelajaran di sekolah, bacaan, pembicaraan, dan media. Kesalahan pengucapan mengalami penurunan karena selama mencari pengalaman anak telah mendengar pengucapan yang benar sehingga mampu mengucapkannya dengan benar. Pembentukan kalimatnya teratur dan tidak terpotong-potong setelah usia 9 tahun. Untuk meningkatkan pengertian terhadap bahasa, anak perlu diberi kesempatan mendengarkan radio dan menonton televise untuk meningkatkan konsentrasi dan pengertian. Juga perlu dilibatkan dalam pembicaraan sosial sehingga egosenrisnya sedikit hilang. Pembicaraan yang dilakukan dalam tahap ini lebih terkendalai dan terseleksi, karena anak menggunakan pembicaraan sebagai alat komunikasi.

Ø  Perkembangan sosial
Akhir masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok, yanag ditandai dengan adanya minat terahadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok. Wujud dari aktivitas ini banyak orang menyebut sebagai geng anak, tetapi berbeda tujuannya dengan geng remaja. Tujuan dari geng anak-anak diantaranya memperoleh kesenangan dalam bermain.

Ø  Perkembangan seksual
Masa ini anak mulai belajar tentang seksualnya dari teman-taman telebih guru dan pelajaran di sekolah. Anak mulai berupaya menyesuaikan penampilan, pakaian,l dan bahkan gerk gerik sesuai dengan peran seksnya. Kecenderungan pada usia ini, anak mengembangkan minat-mionat yang sesuai denga dirinya. Disini, peran orang tua sangat penting untukl mempersiapkan anak menjelang pubertas.

Ø  Perkembangan konsep diri
Perkembangan konsep diri sangat dipengaruhi oleh mutu hubungan dengan orang tua, saudara dan sanak keluarga lain. Saat usia ini, anak-anak membentuk konsep diri ideal, seperti dalm tokoh-tokoh sejarah, cerita khayalan, sandiwara, film, dan tokoh nasional atau dunia yang dikagumi, untuk membangun ego idea, yang menurut Van den Daele berfungsi sebagai standar perilaku umum yang diinternalisasi. Pada usia ini pula, anak pada umumnya mencari identitas diri agar diterima kelompoknya karena takut kehilangan dukungan dari kelompok.

Ø  Bermain
Bermain dianggap sangat penting untuk perkembangan fisik dan fisiologis karena serlama bermain anak mengembangkan berbagai keterampilan social sehingga memungkinkannya untuk meniokmati keanggotaan kelompok dalam masyarakat anak-anak.Bentuk permainan yang sering diminati pada usia ini :
1.        Bermain konstruktif  membuat sesuatu hanya untuk bersenang-senang saja tanpa memikirkan manfaatnya, seperti menggambar, melukis, dan membentuk sesuatu.
2.        Menjelajah : ingin bermain jauh dari lingkungan rumah.
3.        mengumpulkan :  benda-benda yang menarik perhatian dan minatnya, membawa benda ke rumah, menyimpan dalam laci, dan tidak memperlihatkan koleksinya dalam laci.
4.        Permainan dan olahraga: cenderung ingin memainkan permainan anak besar ( bola basket dan sepak bola ) dan senang pada permainan yang bersaing.
5.        Hiburan : anak ingin maluangkan waktu untuk membaca, mendengar radio, menonton, atau melamun.
Keluarga dengan usia sekolah merupakan salah satu tahap yang mesti dilalui dan merupakan masa-masa yang sibuk bagi orang tuanya dan banyaknya keinginan yang dilakukan oleh anak-anak. Pada tahap ini tugas perkembangan keluarga, yaitu :
1.        Mensosialisasikan anak dengan lingkungannya, termasuk keberhasilan dalam belajar dan kebutuhan kelompok dengan teman sebayanya.
2.        Mempertahankan hubungan perkawinan yang harmonis.
3.        memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga (Friedman. 1998).

C.      Masalah Anak Usia Sekolah
Masalah-masalah yang sering terjadi pada anak usia sekolah meliputi bahaya fisik dan psikologis.
·           Bahaya fisik
1.        Penyakit
2.        Kegemukan
3.        Kecelakaan
4.        Kecanggungan
5.        Kesederhanaan
·           Bahaya Psikologis
1.        Bahaya dalam berbicara
2.        Bahaya emosi
3.        Bahaya bermain
4.        Bahaya dalam konsep diri
5.        Bahaya moral
6.        Bahaya yang menyangkut minat
7.        Bahaya dalam penggolongan peran seks
8.        Bahaya dalam perkembangan kepribadian
9.        Bahaya hubungan keluarga
2.3        Konsep Moral
A.      Pengetian Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Kata mores mempunyai sinonim mas, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib hati nurani yang membimbing tingkahlaku batin dalam hidup. Kata moral sama dengan istilah etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, yaitu suatu kebiasaan adat istiadat. Secara etimologis etika adalah ajaran tentang baik dan buruk, yang diterima umum tentang sikap dan perbuatan.
Pada hakekatnya moral adalah ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas,  sedang etika lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan pada suatu profesi (Budi Istanto, 2007; 4). Namun ada pengertian lain etika mempelajari kebiasaan manusia yang telah disepakati bersama seperti cara berpakaian dan tatakrama. Dengan demikian keduanya mempunyai pengertian yang sarna yaitu kebiasaan yang harus dipatuhi (Hendrowibowo, 2007: 84).
Moral yaitu suatu ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedang pengertian etika adalah suatu pemikiran kritis tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika mempunyai pengertian ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas (Kaelan, 2002001: 180). Moral selalu mengacu pada baik buruk manusia, sehingga moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma moral dipakai sebagai tolok ukur segi kebaikan manusia.
Menurut Magnis Suseno yang dikutip Hendrowibowo moral adalah sikap hati yang terungkap dalam sikap lahiriah. Moralitas terjadi jika seseorang mengambil sikap yang baik, karena ia sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik sesuai dengan nurani (Hendrowibowo, 2007: 85).

B.       Lingkungan Pembentuk Moral
Ø  Lingkungan rumah
Perkembangan moral anak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan keluarganya. Karenaya, keharmonisan keluarga menjadi sesuatu hal mutlak untuk diwujudkan, misalnya suasana ramah. Ketika keikhlasan, kejujuran dan kerjasama kerap diperlihatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam hidup mereka setiap hari, maka hampir bisa dipastikan hal yang sama juga akan dilakukan anak bersangkutan.
Sebaliknya, anak akan sangat sulit menumbuhkan dan membiasakan berbuat dan bertingkah laku laku baik manakala di dalam lingkungan keluarga (sebagai ruang sosialasi terdekat, baik fisik maupun psikis) selalu diliputi dengan pertikaian, pertengkaran, ketidakjujuran, kekerasan, baik dalam hubungan sesama anggota keluarga ataupun dengan lingkungan sekitar rumah.
Demikian pula status sosio—ekonomi. Status sosio-ekonomi, dalam banyak kasus menjadi sangat dominan pengaruhnya. Ini sekaligus menjadi latar mengapa anak-anak tersebut memutuskan terjun ke jalanan. Namun selain faktor tersebut (ekonomi), masih ada penyebab lain yang juga akan sangat berpengaruh mengapa anak memutuskan tindakannya itu, yakni peranan lingkungan rumah, khususnya peranan keluarga terhadap perkembangan nilai-nilai moral anak, dapat disingkat sebagai berikut:
ü  Tingkah laku orang di dalam (orangtua, saudara-saudara atau orang lain yang tinggal serumah) berlaku sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat diamatinya.
ü  Melalui pelarangan-pelarangan terhadap perbuatan-perbuatan tidak baik, anjuran-anjuran untuk dilakukan terus terhadap perbuatan-perbuatan yang baik misalnya melalui pujian dan hukuman.
ü  Melalui hukuman-hukuman yang diberikan dengan tepat terhadap perbuatan-perbuatan yang kurang baik atau kurang wajar diperlihatkan, si anak menyadari akan kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatan-perbuatannya.

Ø  Lingkungan sekolah
Intensifikasi dan modifikasi dasar-dasar kepribadian dan pola-pola sikap untuk yang telah diperoleh melalui pertumbuhan dan perkembangan akan dialami secara meluas apabila si anak memasuki sekolah. Corak hubungan antara murid dengan guru atau murid dengan murid, banyak mempengaruhi aspek-aspek kepribadian, termasuk nilai-nilai moral yang tinggi bilamana kelompok itu sendiri sudah mempunyai norma-norma yang baik pula.

Ø  Lingkungan teman-teman sebaya.
Makin bertambah umur, si anak makin memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan teman-teman bermain sebaya. Sekalipun dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan umur relatif besar tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan melakukan hubungan-hubungan dalam suasana bermain.
Makin kecil kelompoknya, dimana hubungan-hubungan erat terjadi, makin besar pengaruh kelompok itu terhadap anak, bila dibandingkan dengan kelompok itu terhadap anak, bila dibandingkan dengan kelompok yang besar anggota-anggota kelompoknya tidak tetap. Terkait dengan tingkat perkembangan anak yang banyak ditentukan dan dipengaruhi lingkungan sekitarnya, Abu Ahmadi, dalam bukunya “Psikologi Perkembangan” menjelaskannya dengan teori interaksionisme. Teori ini mengatakan bahwa perkembangan jiwa atau perilaku banyak ditentukan oleh adanya proses dialektik dengan lingkungannya. Adapun yang dimaksud dengan adanya dialektik dengan lingkungan adalah bahwa perkembangan kognitif anak bukan merupakan sesuatu yang lahir dengan sendirinya, tapi ini dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Analisa lain terkait dengan perkembangan moral juga sempat disinggung oleh Syamsu Yusuf LN, dalam bukunya “Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja”, sebagai berikut:
ü  Konsistensi dalam mendidik anak.
ü  Sikap orangtua dalam keluarga.
ü  Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut.
ü  Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma.

C.      Pendidikan Moral
Istilah pendidikan berasal dari kata paedagogi, dalam bahasa Yunani pae artinya anak dan ego artinya aku membimbing. Secara harafiah pendidikan berarti aku membimbing anak, sedang tugas pembimbing adalah membimbing anak agar menjadi dewasa. Secara singkat Driyarkara yang dikutip oleh Istiqomah mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha secara sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan atau pengajaran dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi dewasa, susila dan dinamis (Istiqomah, 203: 7). Dalam mensosialisasikan nilai moral perlu adanya komitment para elit politik, tokoh masyarakat, guru, stakeholders pendidikan moral, dan seluruh masyarakat.
Sosialisasi Pendidikan moral harus memperhatikan prinsip-prinsip antara lain: "Pendidikan moral adalah suatu proses, pendekatan yang digunakan secara komperhensip, pendidikan ini hendaknya dilakukan secara kondusif baik di lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat, semua partisan dan komunitas terlibat di dalamnya. Sosialisasi pendidikan moral perlu diadakan bagi kepala sekolah, guru-guru, murid-murid, orang tua murid, dan komunitas pemimpin yang merupakan esensial utama. Perlu perhatian terhadap latar belakang murid yang terlibat dalam proses kehidupan pendidikan moral. Perhatian pendidikan moral harus berlangsung cukup lama (terus menerus), dan pembelajaran moral harus diintegrasikan dalam kurikulum secara praksis di sekolah dan masyarakat (Setyo Raharjo, 2005).
Pendidikan moral harus direncanakan secara matang oleh stakeholders , sebagai think-tank, baik para pakar Pendidikan moral seperti rohaniawan (tokoh agama), pemimpin non formal (tokoh masyarakat), kepala sekolah, guru-guru, orang tua mood. Pendidikan moral ini harus memperhatikan nilai-nilai secara holistik dan uiniversal. Keberhasilan pendidikan moral dengan keluaran menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal dan kompetensi sosial yang memiliki moral luhur dan dinamis sehingga menghasilkan warga negara yang baik (good citizen).
Dalam mewujudkan kehidupan moral bagi anak usia dini perlu strategi perjuangan secara struktural dan kultural secara bersama-sama. Strategi structural dalam arti politis, perbaikan struktural ini merupakan sarana yang paling efektif adalah melalui kurikulum pendidikan anak SD. Melalaui lembaga pendidikan formal aspirasi masyarakat tentang moral dapat disalurkan, dan nilai-nilai moral dapat diperjuangkan sebagai masukan dari masyarakat kepada pemerintah khsusnya Depdikbud. Input dari masyarakt kepada pemerintah akan dijabarkan dalam bentuk kebijaksanaan atau undang-undang yang mewajibkan dilaksanakannya pendidikan moral bagi anak-anak yang didukung dana dari pemerintah. Sebagaimana dikatakan oleh Gubenur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta agar pendidikan moral dimasukkan dalam muatan lokal dan didanai oleh pemerintah. Hal ini berkaitan erat dengan semakin merosotnya kehidupan moral terutama di kalangan anak muda (Kompas, 15-3-'07: I). Sementara secara kultural memerlukan perjuangan yang panjang.
Perjuangan membangun mentalitas bangsa yang berbasis nilai-nilai moral melalui penghormatan kepada orang tua dan bersumber dari nilai moral, harus diawali dari individu yang mengutamakan kehidupan, menjunjung nilai-nilai moral, disemaikan dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolahan dan masyarakat luas.
Dengan adanya benih nilai-nilai moral yang sudah disemaikan dalam keluarga, diajarkan di sekolah oleh guru dan masyarakat diharapkan setiap personal dapat mempraktikkan nilai moral dalam totalitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Modal nilai moral yang sudah ada dalam personal merupakan lahan yang subur bagi anak-anak untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam mewujudkan masyarakat yang ideal. Terlebih lagi dalam pembelajaran dan sosialisasi pendidikan moral dapat dimanfaatkan konsep learning to do, learning to be, learning to know, learning to live together.
Dalam usaha untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dapat juga digunakan konsep "Ing ngarso sung tuladho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani" Konsep pendidikan moral bagi anak-anak tidak hanya sebagai wacana tetapi harus diaktualisasikan ke dalam kehidupan nyata, sehingga pendidikan moral bisa mewujudkan masyarakat ideal seperti yang dicitacitakan.

D.      Pentingnya Sosialisasi Nilai-nilai Moral
Dalarn usaha mensosialisasikan nilai-nilai moral anak – anak sering mengalarni kebingungan dalam menentukan pilihan bagaimana harus berpikir, berkeyakinan dan bertingkah laku sebab apa yang dimengerti belum tentu sama dengan apa yang terjadi dalarn masyarakat yang penuh konflik nilai. Televisi dan koran memberikan informasi yang berbeda dengan apa yang ada dalarn keluarga maupun yang terjadi di masyarakat, sehingga hal ini sangat membingungkan peserta didik untuk menentukan pilihan nilai. Peserta didik sulit menentukan pilihan nilai yang terbaik, akibat dari pengaruh teman sebaya. Dalam hal ini jika pendidikan nilai moral ingin berhasil perlu mengajarkan secara langsung kepada anak didik dengan memberi keteladanan yang nyata. (Parjono, 2005: I). Transfer nilai moral kepada anak juga dapat digunakan dengan metode secara moderat karena di dunia ini tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itupeserta  idik harus mengolah dan memiliki normanya sendiri. Guru dan orang tua hanya memberikan norma-norma yang sudah dibakukan dan mengajarkannya, sehingga anak tidak merasa digurui, mereka dibiarkan untuk bareksprimen, berdialog dengan dirinya atau merenungkan ajaran moral yang telah diterimanya, sehingga anak menemukan apa yang dikehendakinya dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai subtansial.
Cara lain untuk memindahkan nilai moral dengan cara memodelkan, dengan asumsi bahwa guru menarnpilkan diri dengan nilai tertentu sebagai model yang mengesankan, maka harapannya peserta didik akan meniru model yang diideolakan. Narnun demikian model-model tingkah laku dan sikap yang berhubungan dengan nilai moral sering ditampilkan oleh banyak orang yang berbeda-beda, sehingga anak bisa mengalami kebingungan dalam menentukan nilai moral. Oleh karena itu orang dewasa harus mengajar nilai-nilai moral secara berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya pada waktu di rumah, dalam perjalanan, waktu ditempat tidur dan pada waktu bangun pagi. Ajaran moral harus diikatkan sebagai tanda pada tangan dan dahi, dan menuliskan pada tiang pintu dan pintu gerbang. Atau seluruh kehidupan dan aktivitas serta lingkungan hidup dijadikan media untuk sosialisasi nilai-nilai moral (LAI, 2003: 200.).
Pendidik hendaknya tidak bosan-bosan untuk memberikan nasehat, telandan, ruang pilihan, kesempatan untuk mengambil keputusan, keleluasaan bagi anak-anak untuk meneladani, mengikuti dan menilai baik buruk, benar dan salah suatu sikap dan perbuatan (Theo Riyanto, 2007: 1). Prinsip pembelajaran moral merupakan pembelajaran yang efektif yang harus menempatkan peserta didik sebagai pelaku moral yang das solen, mereka hrus diberi kesempatan untuk belajar secara aktif baik pisik maupun mental. Aktif secara mental bila anak aktif berfikir dengan menggunakan pengetahuannya untuk mempersepsikan pengalaman yang baru disamping secara fisik dapat diamati keterlibatannya dalam belajar sehingga nilai-nilai moral menjadi bagian dari hidupnya.

2.4        Bahaya Moral pada Anak Usia Sekolah dengan Gangguan Perilaku.
A.      Pengertian gangguan perilaku
Gangguan perilaku pada anak sering juga disebut dengan masalah perilaku atau behavior problem (Moore, 1982) dan masalah sikap atau conduct problem (Conduct Problems Preventation Research Group (CPPRG), 1999). Menurut Moore (1982) gangguan ini meliputi semua bentuk gangguan perilaku pada anak kecuali yang disebabkan oleh neurosis, psikosis, retardasi mental, dan gangguan fisik atau kerusakan organik. Dengan demikian, anak yang menderita gangguan perilaku dipandang sebagai individu “normal” yang mengalami kesulitan penyesuaian sosial. Kesulitan perilaku ini dapat diidentifikasi mulai dari usia tiga tahun sampai akhir remaja dan rentang perilaku yang tampak mulai dari ketidakpatuhan di rumah sampai dengan tindakan kriminal di masyarakat.

B.       Bentuk gangguan perilaku
Moore (1982) menyebutkan bahwa untuk memudahkan pemahaman tentang konsep gangguan perilaku karena ruang lingkupnya yang cukup luas, maka gangguan perilaku ini dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk yang sesuai dengan perkembangan usia anak, yaitu :
Ø  Masalah kontrol
Secara umum ditandai dengan ketidakmatangan perilaku seperti tidak patuh, temper tantrum, menangis secara berlebihan, tingkat aktivitas yang tinggi, dan suka membantah. Biasanya terdapat pada anak berusia muda.

Ø  Perilaku agresif
Ditandai dengan sering melakukan penyerangan fisik dan verbal. Bentuknya antara lain sering berkelahi, menyakiti orang lain secara verbal, suka menentang atau membantah otoritas, dan mengancam. Biasanya ini mulai muncul pada usia 4 sampai 6 tahun.

Ø  Perilaku yang menunjukkan kenakalan/kejahatan
Ditandai seperti bolos, mencuri, merusak, lari dari rumah, menggunakan obat-obatan, dan tindakan kiriminal lainnya. Biasanya terjadi pada usia 11-18 tahun.

Moore (1982) menegaskan bahwa dengan pembagian ini tidak berarti gejala gangguan perilaku terpisah antara bentuk yang satu dengan bentuk yang lain. Mungkin saja pada anak yang satu terdapat sebagian besar gejala dari ketiga bentuk tersebut dan pada anak yang lain hanya terdapat beberapa gejala dari salah satu bentuk.

C.      Penyebab gangguan perilaku
Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, yaitu:
Ø  Faktor biologis individu
Ada beberapa kondisi biologis yang mempengaruhi kerentanan anak untuk mengalami gangguan perilaku.
ü  Temperamen
Temperamen anak yang merupakan indikator paling awal akan masalah perilaku (Cartledge & Milburn, 1995; Grainger, 2003) temperamen kemudian berinteraksi dengan gaya manajemen orang tua dan bila gaya orang tua tidak sesuai maka akan memperparah gangguan perilaku anak (Grainger, 2003). Temperamen anak yang sulit cenderung membuat orang tua berusaha mengontrol perilaku anak secara berlebihan yang justru akan menambah intensitas perilaku melawan pada anak (Cartledge & Milburn, 1995).
ü  Faktor hormonal
Faktor hormonal yaitu peningkatan testosteron, terutama pada gangguan perilaku yang onsetnya pada remaja dan terhambatnya fungsi neuropsikologik yang menyebabkanmenurunnya fungsi eksekutif dan penalaran verbal anak sehingga anak kurang mampu mengontrol emosi dan perilakunya.

Ø  Faktor keluarga
Menurut Frick ( dalam Jimerson dkk, 2002 ) ada beberapa disfungsi keluarga yang member kontribusi pada timbulnya gangguan perilaku yaitu penyesuaian orang tua, situasi perkawinan, dan proses sosialisasi. Penyesuaian orang tua dilihat dari tiga domain : depresi, penyalahgunaan obat-obatan dan perilaku anti sosial. Orang tua yang menggunakan obat-obatan dan berperilaku anti sosial berpengaruh secara langsung pada anak lewat proses modeling (peniruan) sedangkan depresi berpengaruh secara tidak langsung lewat perubahan sikap orang tua yang cenderung mengabaikan anak.
Situasi dan kepuasan hubungan perkawinan sering dianggap sebagai dasar berfungsinya keluarga dengan baik. Secara langsung maupun tidak langsung, hal ini memfasilitasi orang tua untuk berperan dengan baik dan membentuk hubungan yang sehat dengan anak-anaknya. Konflik antara pasangan akan berdampak negatif baik bagi anak maupun orang tua. Anak-anak yang diasuh oleh pasangan yang terlibat konflik dengan menunjukkan permusuhan dan perkelahian, akan lebih agresif dan kasar dibandingkan anak lainnya (Hetherington & Parke, 1999).
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orang tua ke anak, juga berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan pertama dari proses sosialisasi orang tua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orang tua bila ada kelekatan yang aman diantara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulasi yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orang tua. Dengan adanya self regulasi ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orang tua dan lingkungannya (Hetherington & Parke, 1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orang tua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999) pola asuh orang tua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki ketrampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orang tuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam CPPRG, 1999) yang menyebutkan bahwa pola asuh orang tua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orang tua, dan penerapan disiplin yang kaku.
Beberapa variabel demografi keluarga (faktor konstektual) seperti tingkat status sosial ekonomi yang rendah, orang tua tunggal, ukuran keluarga, dan jumlah saudara, juga dapat meningkatkan resiko anak mengalami gangguan perilaku (Eckenrode, dkk, dalam CPPRG, 1999; Cohn, dkk. dalam Cartledge & Milburn, 1995).

Ø  Faktor lingkungan
Lingkungan di luar keluarga yang terutama berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak  dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku anti sosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002).
Pengalaman negatif di sekolah juga beresiko menimbulkan gangguan perilaku pada anak. Kesulitan akademik, tekanan yang berlebihan dari orang tua, serta respon guru yang kurang tepat terhadap perilaku dan prestasi mereka yang rendah akan menimbulkan gangguan perilaku pada anak (Morrison, dkk. dalam Cartledge & Milburn, 1995). Selain itu, kurangnya dukungan sosial dari sekolah terhadap anak-anak yang memiliki gangguan perilaku akan meningkatkan frekuensi perilaku antisosial mereka (CPPRG,1999).
Lingkungan tempat tinggal, jaringan sosial, serta kejahatan politik juga turut berperan bagi perkembangan moral dan perilaku anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah konflik atau di daerah yang mengalami peperangan menunjukkan pemahaman moral yang rendah, terlibat dalam kenakalan remaja, menunjukkan perilaku antisosial dan bolos dari sekolah (Hetherington & Parke, 1999).

2.5        Asuhan Keperawatan Keluarga pada Anak Usia Sekolah dengan Gangguan Moral ( Perilaku Anak Membolos / Ketidakdisiplinan )
Dalam tahap pengkajian, data yang perlu diperoleh oleh perawat, yaitu data yang berhubungan dengan keluarga dan anak meliputi :
A.      PENGKAJIAN
1.         Data Umum
Ø  Kepala Keluarga (KK)
Ø  Alamat dan telepon
Ø  Pekerjaan KK
Ø  Pendidikan KK
Ø  Komposisi keluarga
Ø  Tipe keluarga
Ø  Suku bangsa
Ø  Agama
Ø  Status sosial ekonomi keluarga
Ø  Aktivitas rekreasi keluarga
2.         Riwayat
Ø  Tahap perkembangan keluarga saat ini
Ø  Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
Ø  Riwayat kesehatan keluarga inti
Ø  Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya
3.         Data lingkungan
Ø  Karakteristik rumah
Ø  Karakteristik tetangga dan komunitasnya
Ø  Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Ø  Sistem pendukung keluarga
4.         Struktur keluarga
Ø  Struktur peran
Ø  Nilai atau norma keluarga
Ø  Pola komunikasi keluarga
Ø  Struktur kekuatan keluarga
5.         Fungsi keluarga
Ø  Fungsi ekonomi
Ø  Fungsi mendapatkan status sosial
Ø  Fungsi pendidikan
Ø  Fungsi sosialisasi
Ø  Fungsi pemenuhan (perawatan atau pemeliharaan) kesehatan
Ø  Fungsi religius
Ø  Fungsi rekreasi
Ø  Fungsi reproduksi
Ø  Fungsi afeksi
6.         Stres dan koping keluarga
Ø  Stressor jangka pendek dan panjang
Ø  Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor
Ø  Strategi koping yang digunakan
Ø  Strategi adaptasi disfungsional
7.         Pemeriksaan kesehatan tiap individu anggota keluarga
8.         Harapan keluarga

B.       Diagnosis  dan intervensi keperawatan
Setelah pengkajian, perawat mengklasifikasikan data untuk merumuskan diagnosis keperawatan. Pada asuhan keperawatan keluarga, diagnosis keperawatan yang muncul dapat dua sifat, yaitu yang berhubungan dengan anak bertujuan agar anak dapat tumbuh dan berkermbang secara optimal sesuai usia anak dan yang berhubungan dengan keluarga dengan penyebab (etiologi) berpedoman pada lima tugas keluarga di bidang kesehatan yang bertujuan agar keluarga memahami dan memfasilitasi perkembangan anak. Masalah dalam diagnosis keperawatan merupakan kebutuhan dasr klien (manusia) yang tidak terpenuhi.

C.      Contoh rencana asuhan keperawatan
1.         Menurunnya atau berkurangnya minat anak masuk sekolah berhubungan dengan banyaknya tugas yang dibebankan.
Tujuan             : Anak mau kembali bersekolah.
Intervensi        :
a.         Beri penjelasan pada anak tentang pentingnya sekolah.
b.        Anjurkan orang tua untuk menemani anak belajar.
c.         Anjurkan orang tua untuk memberikan hukuman jika anak tidak mau belajar dan memberikan pujian jika anak mau belajar.

2.         Ketidakberdayaan mengerjakan tugas sekolah berhubungan dengan anak sulit menangkap pelajaran yang diberikan.
Tujuan             : Anak mau belajar sendiri di rumah.
Intervensi        :
a.         Anjurkan orang tua untuk menemani anak belajar.
b.        Anjurkan orang tua bekerjasama dengan anak untuk membuat jadwal belajar.
c.         Anjurkan orang tua untuk memasukkan anak di program bimbingan belajar.

3.         Mudah atau sering marah berhubungan dengan terlalu sering dimarahi orang tua atau guru karena membolos.
Tujuan             : Emosi anak menjadi stabil
Intervensi        :
a.         Beri penjelasan pada anak tentang bahaya marah – marah (misalnya dapat menyakiti perasaan orang tua, perasaan yang tidak menyenangkan, dll).
b.        Berikan penjelasan pada anak tentang manfaat sekolah (misalnya dengan belajar di sekolah dapat menjadikan pintar, dapat belajar bersama teman – teman, dll)
c.         Anjurkan anak untuk mematuhi perintah orang tua atau guru.
d.        Anjurkan anak untuk rajin masuk sekolah.



D.      Evaluasi
Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi, berdasarkan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan kriteria hasil yang telah diterapkan sebelumnya. Saat evaluasi perawat hendaknya selalu memberi kesempatan keluarga untuk menilai keberhasilannya, kemudian diarahkan sesuai  dengan tugas keluarga di bidang kesehatan

BAB III
PENUTUP


3.1         Kesimpulan
Ø  Pengertian keluarga  adalah unit terkecil masyarakat, terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. (UU. No 10, 1992). keluarga  adalah kumpulan dua orang / lebih hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, dan setiap individu punya peran masing-masing (Friedman 1998).
Ø  Pengertian anak usia sekolah merupakan suatu periode yang dimulai saat anak masuk sekolah dasar sekitar usia 6 tahun sampai menunjukan tanda akhir masa kanak-kanak yaitu 12 tahun. Langkah perkembangan selama anak mengembangkan kompetensi dalam ketrampilan fisik, kognitif, dan psikososial. Selama masa ini anak menjadi lebih baik dalam berbagai hal, misalnya mereka dapat berlari dengan cepat dan lebih jauh sesuai perkembangan kecakapan dan daya tahannya.
Ø  Masalah Anak Usia Sekolah
·           Bahaya fisik
1.      Penyakit
2.      Kegemukan
3.      Kecelakaan
4.      Kecanggungan
5.      Kesederhanaan
·           Bahaya Psikologis
6.      Bahaya dalam berbicara
7.      Bahaya emosi
8.      Bahaya bermain
9.      Bahaya dalam konsep diri
10.  Bahaya moral
11.  Bahaya yang menyangkut minat
12.  Bahaya dalam penggolongan peran seks
13.  Bahaya dalam perkembangan kepribadian
14.  Bahaya hubungan keluarga
Ø  Pengertian moral yaitu suatu ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Wong, Donna L (et al). 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC
Suriadi. 2010. Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV. SAGUNG SETO


Tidak ada komentar: