Minggu, 13 Februari 2011

Limfoma non hodgkin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain.
Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian, diantaranya limfoma Hodgkin (LH), limfoma non-hodgkin (LNH), histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam praktek, yang dimaksud limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.

1.2 Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari pengertian, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, sampai cara pengobatan LNH
2. Mempelajari pembuatan Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan untuk pasien dengan diagnosis LNH
3. Memahami penanganan managemen medis LNH

1.3 Manfaat
Penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat :
- Bagi mahasiswa agar sebagai perawat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu tersebut atau menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien LNH dengan baik dan benar.
- Bagi para pembaca, sebagai bahan bacaan dan referensi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfoma maligna non hodgkain (LNH) adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. LNH adalah sekelompok penyakit heterogen. Sel ganas pada penyakit LNH adalah sel limfosit yang berada pada salah satu tingkat deferensiasinya dan berproliferasi secara banyak.
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).

2.2 Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.

2.3 Patofisiologi
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah , tetapi kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah. (Price, 1995; 39 - 40).
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis dapat menghasilkan petunjuk tentang kemungkinan diagnosis ini dan evaluasi lebih lanjut secara langsung (misalnya hitung darah lengap, biakan darah, foto rontgen, serologi, uji kulit). Jika adenopati sistemik tetap terjadi tanpa penyebab yang jelas tanpa diketahui, biopsi kelenjar limfe dianjurkan. (Harrison, 1999; 372). Biopsi sayatan: Sebagian kecil jaringan tumur mame diamdil melalui operasi dengan anestesi umum jaringan tumor itu dikeluarkan, lalu secepatnya dikirim kelaborat untuk diperriksa. Biasanya biopsi ini dilakukan untuk pemastian diagnosis setelah operasi. (Oswari, 2000; 240). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk kejaringan otak dengan tekanan setempat yang tinngi. (Oswari, 2000; 34). Pada awal pembiusan ukuran pupil masih biasa, reflek pupil masih kuat, pernafasan tidak teratur, nadi tidak teratur, sedangkan tekanan darah tidak berubah, seperti biasa. (Oswari, 2000; 35).





Pathway dan Masalah Keperawatannya

Peradangan

Pembuluh darah

Cairan iterstisial ke saluran limfe jaringan

Peningkatan pada aliran limfe

Lapisan sel pembatas meregang Nyeri

Kelenjar limfe membesar Operasi/biopsy Neuromuskular
Dilakukan sayatan
Bahan interstisial yang Pembiusan biopsy
masuk lebih banyak

Kulit terbuka

Agen penyebab cidera Resiko kekurangan
terbawa cairan limfe volume cairan
Pernafasan tidak teratur
Mati rasa Kelemahan umum
Penyebaran agen yang menular
Pola nafas tidak efektif
Resiko infeksi






2.4 Klasifikasi
Klasifikasi patologi limfoma telah mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport membagi limfoma menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun 1982 muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma menjadi keganasan rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis. Seiring dengan kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru pada tahun 1982 yang dikenal dengan Revised European-American classification of Lymphoid Neoplasms (REAL classification). Meskipun demikian, klasifikasi Working Formulation masih menjadi pedoman dasar untuk menentukan diagnosis, pengobatan, dan prognosis
• Klasifikasi Patologi Berdasarkan Working Formulation
1. Keganasan rendah
- Limfoma malignum, limfositik kecil
- Limfoma malignum, folikular, didominasi sel berukuran kecil cleaved
- Limfoma malignum, folikular, campuran sel berukuran kecil cleaved dan besar
2. Keganasan menengah
- Limfoma malignum, folikular, didominasi sel berukuran besar
- Limfoma malignum, difus, sel berukuran kecil
- Limfoma malignum, difus, campuran sel berukuran kecil dan besar
- Limfoma malignum, difus, sel berukuran besar
3. Keganasan tinggi
- Limfoma malignum, sel imunoblastik berukuran besar
- Limfoma malignum, sel limfoblastik
- Limfoma malignum, sel berukuran kecil noncleaved
Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma penyakit Hodgkin dan non-Hodgkin.
2.5 Gejala Klinis
1. Pembengkakan kelenjar getah bening
Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini tidak lahir multiple, bebas atas konglomerasi satu sama lain. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim.
2. Demam tipe pel Ebstein
3. Gatal-gatal
4. Keringat malam
5. Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya.
6. Nafsu makan menurun.
7. Daya kerja menurun
8. Terkadang disertai sesak nafas
9. Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%)
10. Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma non-Hodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh.

2.6 Terapi
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyakit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.
1. Radiasi
a. Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
b. Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
c. Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
d. Untuk stadium IV secara total body irradiation
2. Kemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi. Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.
COP (Untuk limfoma non Hodgkin)
C : Cyilopkosphamide 800 mg/m2 hari I
O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I
P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tapering off
MOPP (untuk Limfoma Hodgkin)
M : Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8
O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII
P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV
P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Dasar data pengkajian Pasien
1. Aktivitas / istirahat
 Gejala : Kelelahan, kelemahan, atau malaise umum.
Kehilangan produktivitas dan penurunan toleransi latihan.
Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak.
 Tanda : Penurunan kekuatan, jalan lamban,
dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan.
2. Sirkulasi
 Gejala : Palpitasi, angina / nyeri dada.
 Tanda : Takikardia, disritmia.
Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang).
Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obstruksi duktus empedu oleh pembesan nodus limfe (mungkin tanda lanjut).
Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.
3. Integritas ego
 Gejala : Faktor stress
mis ; sekolah, pekerjaan, keluarga.
Takut/ansietas sehubungan dengan kemungkinan takut mati.
Anseitas/takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)
 Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu bekerja.
 Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan dengan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.
 Tanda : berbagai perilaku
mis ; marah, menarik diri, pasif.
4. Eliminasi
 Gejala : Perubahan karakteristik urine atau feses.
Riwayat obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorpsi (infiltrasi dari nudos limfa retroperitonial).
 Tanda : Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran kanan atas dan
pembesaran pada palpasi (hematomegali).
Nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali).
Penurunan haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretral/ gagal ginjal).
Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut).
5. Makanan / Cairan
 Gejala : Anoreksia/kehilangan nafsu makan.
Disfagia ( tekanan pada esofagus )
Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya tanpa upaya diet.
 Tanda : pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau tangan kanan
(sekunder terhadap kompresi vena kava superioroleh pembesaran nodus limfe).
 Ekstrimitas : edema ekstrimitas bawah sehubungan dengan obstruksi vena kavainferior dari pembesaran nodus limfe intraabdominal (non-Hodgkin).
Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraab-dominal).
6. Neurosensori
 Gejala : Nyeri syaraf ( neuralgia ) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan, pleksus sakral.
Kelamahan otot, parestesia
 Tanda : Status mental: letargi, menarik diri terhadap sekitar.
Paraplegia ( kompresi batang spinal dari tubuh vetebral, keterlibatan diskus pada kompresi/ degenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal).
7. Nyeri / Kenyamanan
 Gejala : Nyeri tekan / nyeri pada nodus limfa yang terkena
mis; pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung ( kompresi vertebral ) ; nyeri tulang umum ( keterlibatan tulamg limfomatus ) Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.
 Tanda : Fokus pada diri sendiri; perilaku berhati – hati.
8. Pernafasan
 Gejala : Dispnea pada kerja atau istirahat; nyeri dada.
 Tanda : Dispnea; takikardia
Batuk kering non-produktif.
Tanda distres pernafasan, contoh peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman, penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
Parau/ paralisis laryngeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).
9. Keamanan
 Gejala : Riwayat sering/adanya infeksi
(abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sismetik, TB, toksoplasmosis, atau infeksi bakterial ).
Riwayat mononukleus ( resiko tinggi penyakit hodgkin pada pasien dengan titer tringgi virus Espstien – Barr ). Riwayat ulkus / perforasi perdarahan gaster.
Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari berakhir sampai beberapa minggu ( demam pel – Ebstain ) diikuti oleh periode demam; keringat malam tanpa mengigil.
Kemerahan/ pruritus umum.
 Tanda : Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 380 C tanpa gejala infeksi.
Nodus limfe simetris, tak nyeri, membenkak / membesar ( nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan kanan; kemudian nudos aksila dan mediastinal )
Nudus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.
Pembesaran tonsil.
Pruritus umum.
Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo)
10. Seksualitas
 Gejala : Masalah tentang fertilitas / kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi).
Tetapi penurunan libido.
11. Penyuluhan/pembelajaran
 Gejala : Faktor resiko keluarga
Pekerjaan terpajan pada herbisida (pekerja katu/kimia).
( Doengos,1999; 605-607 )


3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu,bebas drenase purulen atau eritema dan tidak demam ( Doengos, 1999; 796 – 797)
Interensi :
1. Tingkatkan cuci tangan yang baik pada setaf dan pasien.
2. Gunakan aseptik atau kebersinan yang ketet sesuai indikasi untuk menguatkan atau menganti balutan dan bila menangani drain.insruksian pasien tidak untuk menyentuh atau menggaruk insisi
3. Kaji kulit atau warna insisi. Suhu dan integrits: perhatikan adanya eritema /inflamasi kehilangan penyatuan luka.
4. Awasi suhu.adanya menggigil.
5. Dorong pemasukan cairan,diey tinggi protein dengan bentuk makanan kasar.
6. Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional :
1. Menurunkan resiko kontaminasi silang.
2. Mencegah kotaminasi dan resiko infeki luka,dimana dapat memerlukan post prostese.
3. Memberikan informasi trenteng status proses penyembuhan dan mewaspadakan staf terhadap dini infeksi.
4. Meskipun umumnya suhu meningkatpdad fase dini pasca operasi dan/atua adanya menggigil biasanya mengindikasikan terjadinya infeksi memerlukan inetrvensi untuk mencegah komplikasi lebih serius.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan dan nutrisi untuk mendukung perfusi jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan penyembuhan jaringan.
6. Mungkin berguna secara profilaktik untuk mencegah infeksi.


2. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot.
Tujuan : mengatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol / hilang.
( doengos, 1999; 915 – 917 )
Intervensi :
1. Evaluasi rasa sakit secara regular (mis, setiap 2 jam x 12 ), catat karakteristik, lokasi n intensitas ( skala 0-10 ).
2. Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi.
3. Berikan informasi mengenai sifat ketidaknyamanan, sesui kebutuhan
4. Lakukan reposisi sesui petunjuk, misalnya semi - fowler; miring.
5. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya latihan napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.
6. Berikan perwatan oral reguler.
Rasional :
1. Sediakan informasi mengenai kebutuhan/efektifitas intervensi. Catatan: sakit kepala frontal dan/atau oksipital mungkin berekembang dalam 24-72 jam yang mengikuti anestesi spinal, mengharuskan posisi terlentang, peningkatan pemasukan cairan, dan pemberitahuan ahli anestesi.
2. Ketidaknyamanan mungkin disebabkan/diperburuk dengan penekanan pada kateter indwelling yang tidak tetap, selang NGT, jalur parenteral sakit kandung kemih, akumulasi cairan dan gas gaster, dan infiltrasi cairan IV/ medikasi.
3. Pahami penyebab ketidaknyamanan (misalnya sakit otot dari pemberian suksinilkolin dapat bertahan sampai 48 jam pasca operasi, sakit kepala sinus yang disosialisasikan dengan nitrus oksida dan sakit tenggorok dan sediakan jaminan emosional. Catatan: peristasia bagian-bagian tubuh dapat menyebabkan cedera saraf. Gejala – gejala mungkin bertahan sampai berjam-jam atau bahkan berbulan – bulan dan membutuhkan evaluasi tambahan.
4. Mungkin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan sirkulasi. Posisi semi – Fowler dapat mengurangi tegangan otot abdominal dan oto punggung artritis, sewdangkan miring mengurangi tekanan dorsal.
5. Lepaskan tegangan emosional dan otot; tingkatkan perasaan kontrol yang mungkin dapat meningkatkan kemam puan koping.
6. Mengurangi ketidaknyamanan yang di hubungkan dangan membaran mukosa yang kering pada zat – zat anestesi, restriksi oral.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neouromuskular, ketidak seimbangan persptual.
Tujuan : Menetapkan pola nafas normal/efektif dan bebas dari sianosis dan tanda – tanda hipoksai lain. (doengos, 1999; 911 – 912)
Intervensi:
1. Pertahankan jalan udara pasien dengan memiringkan kepala, hipereksentensi rahang, aliran udara feringeal oral.
2. Obserefasi dan kedalamam pernafasan, pemakaian otot – otot bantu pernafasan, perluasan rongga dada, retraksi atau pernafasan cuping hidung, warna kulit dan aliran udara.
3. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernafasan dan jenis pembedahan.
4. Observasi pengembalian fungsi otot terutama otot pernafasan.
5. Lakukan penghisapan lendir jika perlu.
6. Kaloborasi: berikan tambahan oksigen sesui kebutuhan.
Rasional:
1. Mencegah obstruksi jalan nafas.
2. Dilakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.
3. Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendoromg ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
4. Setekah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intra operatif pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada difragma, otot – otot interkostal, dan laring yang akan diikuti dengan relaksasi dengan relaksasi kelompok otot – otot utma seperti leher, bahu, dan otot – otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, paring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut, wajah dan jari – jari tangan.
5. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena danya darah atau mukus dalam tenggorok atau trakea.
6. Dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb yang mengantikan tempat gas anestesi dan mendorng pengeluaran gas tersebut melalui zat – zat inhalasi.

4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran integritas pembuluh darah, perubahan dalam kemampuan pembekuan darah.
Tujuan: Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, sebagaimana ditunjukkan dengan tanda – tanda vital yang stabil, palpasi denyut nadi dengan kualitas yang baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, dan pengeluaran urine yang sesui. . ( doengos, 1999; 913 – 915 )
Intervensi:
1. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran (termasuk pengeluaran gastrointestinal ).
2. Kaji pengeluaran urinarus, terutama untuk tipe prosedur operasi yang dilakukan.
3. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan. Misalnya privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air hamgat diatas perineum.
4. Catat munculnya mual/muntah, riwayat pasien mabuk perjalanan.
5. Periksa pembalut, alat drein pada intrval reguler. Kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
6. Kalaborasi: Berikan cairan pariental, pruduksi darah dean/atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.
Rasional:
1. Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/ kebutuhan pemggantian dan pilihan – pilihan yang mempengaruhi intervensi.
2. Mungkin akan terjadi penurunan ataupun penghilangan setelah prosedur pada sistem genitourinarius dan / atau struktur yang berdekatan.
3. Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan.
4. Wanita, pasien dengan obesitas, dan mereka yang memiliki kecenderungan mabuk perjalanan penyakit memiliki resiko mual/ muntah yang lebih tinggi pada masa pasca operasi. Selain itu, semakin lama durasi anestesi, semakin resiko untuk mual, catatan: Mual yang terjadi selama 12 –24 jam pasca operasi umumnya dibangunkan dengan anestesi( termasuk anestesi regional ),. Mual yang bertahan lebih dari 3 hari pasca operasi mungkin dihubungkan dengan pilihan narkotik untuk mengontrol rasa sakit atau tr erap oabt – abatan lainnya.
5. Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia / hemoragi. Pembengkakan lokal mungkin mengindikasikan formasi hematoma/ perdarahan.
6. Gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggantian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Kelemahan umum; penurunan kekuatan / ketahanan; nyeri.
Tujuan : Menunjukkan teknik / perilaku yang mampu memampukan kembali melakukan aktivitas. . ( doengos, 1999;536 – 537 )

Intervensi:
1. Tingkatkan tirah baring / duduk. Berikan linkungan tenang; batasi pengunjung sesui keperluan.
2. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
3. Tingkatkan aktivitas sesui toleransi, bantu melakukan latihan rentang gerak sensipasi/ aktif.
4. Dorong penggunaan teknik menejemen stres. Contoh relaksasi progresif, vissualisasi bimbing imajinasi. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton Tv, radio, dan membaca.
5. Berikan obat sesui indikasi, Sedatif, agen antiansietas, contoh Diazepam ( valium ), Lorazepam ( ativam ).
Rasional:
1. Meningkatkan istirahat dan ketenangan. Menyipan energi yang digunakan untuk penyembuhan. Aktivitas dengan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah kaki yang mencegah sirkulasi optimal kesel hati.
2. Meningkatkan fungsi pernapasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
3. Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
4. Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian, dan meningkatkan koping.
5. Membantu dalam menejemen kebutuhan tidur, catatan: Penggunaan Barbiturat dan Tranguilizer seperti Compazine dan Thorazine, dikontra indikasikan sehubungan dengan efek hepatotoksik.



BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
• Limfoma maligna non hodgkain (LNH) adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat.
• Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt.
• Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena.
• Rappaport membagi limfoma menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan pemeriksaan sitologi
• Gejala Klinis
 Pembengkakan kelenjar getah bening
 Demam tipe pel Ebstein
 Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya
• Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.
• Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan gangguan gastrointestinal

4.2 Saran
Bagi mahasiswa, sebagai perawat nantinya bisa mengaplikasikan ilmu ini atau menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien LNH dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA
http://mailto:shin@yahoo.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

If some one needs to be updated with newest technologies afterward he must be pay a
quick visit this site and be up to date daily.


Visit my weblog; candy crush saga cheats; ,