Indonesia mempunyai hasil bumi yang melimpah sejak zaman
dulu. Tak heran, banyak bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia untuk
mendapatkan hasil bumi tersebut. Lebih
dari tiga ratus lima puluh tahun Indonesia dijajah bangsa Belanda. Selama itu
pula beraneka ragam kekayaan bumi di Indonesia ini dieksploitasi. Salah satunya
adalah tebu yang dapat diolah menjadi gula (di samping hasil bumi lain seperti
kopi, tembakau, cengkeh, rempah-rempah dan lain-lain).
Tebu
termasuk genus Saccharum Officanarum L.
Termasuk keluarga rumput-rumputan (graminae). Tebu merupakan tanaman perkebunan
semusim dan hanya tumbuh di daerah tropis, yang mempunyai ketinggian tanah 1
sampai 1300 meter di atas permukaan air laut. Di Indonesia terdapat beberapa
jenis tebu, setiap jenis tebu memiliki ukuran batang serta warna yang
berlainan. Tebu termasuk tumbuhan berbiji tunggal. Tinggi tumbuhan tebu
berkisar 2-4 meter. Batang pohon tebu terdiri dari banyak ruas yang setiap
ruasnya dibatasi oleh buku-buku sebagai tempat duduknya daun. Batang tebu
mengandung air gula yang berkadar sampai 20%. Bentuk daun tebu berbentuk
helaian dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai 1-2 meter dan lebar 4-8 cm
dengan permukaan kasar dan berbulu. Bunga tebu berupa bunga majemuk yang
berbentuk malai di puncak sebuah poros gelagah. Akar tebu berbentuk serabut.
Tebu
memiliki usia panen kurang lebih satu tahun sejak ditanam. Area perkebunan yang
digunakan untuk menanam tebu memerlukan luas tanah hingga mencapai 70.000
hektar. Namun, tebu juga bisa ditanam di halaman rumah. Menanam tebu mempunyai
banyak manfaat, selain sebagai penghijauan dan mengurangi polusi udara, tanaman
tebu merupakan habitat bagi serangga, seperti belalang dan kupu-kupu, serta
batang tebu dapat diolah menjadi gula tebu.
Gula tebu (sugar cane)
berperan penting untuk mengolah makanan dan sejenisnya. Pulau Jawa merupakan
salah satu penghasil gula yang melimpah. Pada pertengahan abad ke-19, di Indonesia banyak didirikan
pabrik gula oleh bangsa Belanda. Belanda menerapkan teknologi paling canggih
yang dimilikinya, sehingga Indonesia menjadi produsen gula terbesar di dunia
saat itu.
Wisata sejarah merupakan salah satu potensi bisnis yang bisa
dikembangkan oleh para pelaku industri gula. Wisata sejarah, kalau dibayangkan
yang ada di pikiran setiap orang pasti sebuah museum dengan peninggalan sejarah
di dalamnya. Di dalam museum ada tombak, pedang, panah, busur, arca-arca,
patung, alat-alat untuk upacara pada zaman kerajaan dulu dan lain-lain. Tapi,
pada zaman sekarang pengembangan wisata sejarah tidak hanya difokuskan pada
peninggalan kerajaan zaman dulu. Wisata sejarah perlu juga dikembangkan pada
pabrik gula dan pengembangan wisata sejarah itu tidak hanya sekedar membangun
museum.
Hampir semua pabrik gula di Indonesia berumur tua, karena
dibangun pada masa kolonial Belanda. Apabila pabrik gula tersebut dikembangkan
dengan baik, potensi tersebut bisa dioptimalkan dengan membuat model wisata
sejarah yang menarik. Perkembangan wisata sejarah industri gula nantinya
diharapkan dapat memberikan keuntungan yang besar baik bagi pelaku industri
gula, pemilik pabrik gula, negara maupun masyarakat pada umumnya. Diharapkan
masyarakat dapat mengenal, mengetahui dan memahami perkembangan proses
pembuatan gula dengan cara tradisional, dengan mesin uap sampai era modern
seperti saat ini, yaitu dengan mesin-mesin bertenaga listrik. Dengan adanya
wisata sejarah ini masyarakat juga dapat mengetahui perkembangan perkebunan
tebu dan industri gula di Indonesia dari zaman kolonial Belanda sampai
sekarang.
Wisata sejarah pabrik gula hendaknya bernuansa historis dan memadukan unsur edukasi dan rekreasi.
Wisata sejarah pabrik gula sebaiknya dibuat dalam area yang cukup luas dan
lengkap dengan berbagai fasilitas serta menyajikan keindahan alam dan
arsitektur kuno yang dipadukan dengan arsitektur modern. Komposisi wahana yang
dibuat hendaknya juga beragam dan sedemikian rupa. Sehingga pengunjung tidak
merasa bosan karena tempat wisata yang dikunjunginya mempunyai beragam wahana
yang berbeda, tidak monoton.
Macam-macam wahana yang bisa dibuat dalam wisata sejarah
pabrik gula antara lain wahana pendidikan yang menjadi pusat perhatian
diantaranya adalah museum, perkebunan tebu, miniatur pabrik gula, toko gula / souvenir center, dan stand yang memajang pemanfaaatan pohon
tebu dan gula tebu dalam kehidupan sehari-hari. Wahana yang berfungsi sebagai
tempat rekreasi antara lain maze/ mozaik dari pohon tebu, kolam renang yang
didesain dengan nuansa perkebunan tebu, flying fox, dan lain-lain.
Museum adalah sebuah wahana yang sangat vital dan perlu
dibangun untuk mengembangkan potensi wisata sejarah pabrik gula. Museum gula
ini berfungsi sebagai pusat pembelajaran dan pengetahuan tentang sejarah gula. Banyak daerah di Pulau Jawa
yang memiliki pabrik gula. Tapi baru daerah Klaten, Jawa Tengah yang memiliki
Museum Gula.
Museum
gula hendaknya terdiri dari ruang pameran, laboratorium, perpustakaan, ruang
auditorium dan ruang informasi. Pada ruang pameran bisa dipamerkan perkembangan
sejarah gula dari zaman penjajahan hingga kini, peta Jawa Timur (dan/atau Pulau
Jawa) dengan lokasi pabrik gulanya, maket
pabrik gula (secara umum), serta proses produksi gula, sejak dari masa
penanaman hingga pembuatan gula.
Ruang berikutnya dapat diisi dengan pameran berbagai bibit/
jenis tebu (tebu Cirebon/hitam, tebu kasur, POJ 100,POJ 2364, EK 28, POJ 2878
dan lain-lain), koleksi berbagai macam alat-alat pertanian tradisional yang
digunakan untuk penanaman dan pemeliharaan tebu, seperti cangkul, sabit, dan
lain-lain. Untuk
menambah daya tarik bisa juga dipajang berbagai hama pengganggu tanaman dan
penyakit-penyakit pada pohon tebu. Macam-macam alat tradisonal yang
digunakan pada masa lampau untuk memproses tebu menjadi kristal gula, beberapa produk pabrik gula
sampai limbahnya (seperti gula pasir, tetes tebu, ampas tebu, dan sebagainya)
bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Hal yang tak kalah
pentingnya yaitu, mesin-mesin
yang digunakan di sebuah pabrik gula (manual-modern) dan sarana
pengangkut tebu dan gula, seperti pedati dan angkutan yang digunakan untuk
mengawasi kebun tebu, akan menjadi suguhan sejarah perkembangan gula di masa
lampau. Bila ada koleksi
kereta kuno/ lori yang dulu dimanfaatkan sebagai alat angkut tebu juga bisa
dipajang untuk menambah daya tarik pengunjung. Untuk era modern seperti saat ini bisa ditambahkan stand yang berisi mekanisme atau
fabrikasi pembuatan gula tebu dari pabrik gula modern. Selanjutnya, bisa
ditambahkan stand yang memajang
pemanfaaatan pohon tebu dan gula tebu dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerajinan
tangan dari bunga tebu, pupuk kompos yang diolah dari gula tetes dan lain
sebagainya.
Ruang
berikutnya bisa diisi dengan meja kerja dengan berbagai jenis perangkat/
peralatan kerja seperti mesin ketik, mesin hitung, alat hitung manual zaman
dulu. Beberapa foto penunjang juga bisa dipamerkan. Foto-foto penunjang yang
bisa dipamerkan, antara lain: foto pabrik gula lama dan baru, foto upacara
giling pertama, tiruan visualisasi ruang administrasi lama dan baru, foto-foto
kepala pabrik gula, foto-foto kepala PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara) dari pejabat pertama hingga terkini dan sebagainya.
Pada
laboratorium bisa dipajang alat-alat laboratorium, fungsi laboratorium
dan penelitian terkini untuk perkembangan produksi gula tebu dapat menjadi
suguhan yang menarik untuk para pengunjung. Auditorium dalam museum gula bisa
digunakan untuk rapat, pertemuan-pertemuan penting, tutorial dan lain-lain.
Pada wahana museum, bisa diawali dengan cerita yang
menggambarkan awal mula adanya tanaman tebu di Indonesia. Di Jawa, tanaman tebu
diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan, yaitu pada zaman Aji Saka sekitar
tahun 75 M. Perantau China, I Tsing, mencatat bahwa tahun 895 M gula yang
berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. Pada abad
ke-17, bangsa Belanda membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan
industri gula di Jawa. Pada saat itu banyak dibuka lahan-lahan perkebunan untuk
menanam tebu. Masa itu disebut dengan masa sistem tanam paksa, karena
memberikan keuntungan besar untuk bangsa kolonial. Perekonomian kolonial saat
itu sangat dipengaruhi oleh daya tarik dan keuntungan yang diperoleh dari
perkebunan tebu.
Adanya perkebunan tebu di Indonesia mendorong munculnya
pabrik gula, untuk pembuatan gula. Perkebunan tebu dan pabrik gula saat itu
menjadi motor perekonomian Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa.
Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang
sederhana. Sebagai gilingan digunakan dua buah selinder kayu yang diletakkan
berhimpitan kemudian diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu
dimasukkan diantara kedua selinder, kemudian nira yang keluar ditampung dalam
suatu bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Pada saat panen tebu, alat
pengolahan gula ini bisa dipindahkan mendekati kebun.
Pada pertengahan abad ke-17 telah dilakukan ekspor gula ke
Eropa yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Seiring
dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi. Ketika
India mulai melakukan ekspor gula ke Eropa, industri gula di Jawa mengalami
persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. Pada tahun 1745 di Jawa
tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII
menyusut kembali menjadi 55 PG.
Setelah sistem tanam paksa dihentikan, penanaman perkebunan
tebu dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Perluasan perkebunan tebu
terpusat di daerah Pulau Jawa, karena jenis tanah dan pola pertanian di Pulau
Jawa lebih sesuai untuk penanaman tebu.
Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di
Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam
penyediaan sarana irigasi. Pada awal abad ke-19, industri gula yang lebih
modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama
didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur).
Perlu juga digambarkan perkembangan industri gula di beberapa
daerah. Di Yogyakarta perkebunan tebu berkembang sejak abad ke-19. Di daerah
Swapraja ini banyak pabrik gula dibangun yang berpengaruh besar pada
perekonomian masyarakat. Pada tahun 1920-an perusahaan gula memperluas lahan
perkebunan tebu di Lengkong, Kulon Progo, Kebonongan dan Pedokan.
Di Rembang dan Pati, Jawa Tengah, pabrik gula membangun waduk
untuk pengairan yang dapat dinikmati oleh pertanian masyarakat. Sehingga
perusahaan gula menerima imbalan berupa diperbolehkan memperluas lahan
penanaman tebu.
Industri gula Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan
bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi
prosesing gula tebu yang dimulai abad ke-19 tersebut, kemudian disempurnakan
dengan berbagai inovasi teknologi di abad ke-20 hingga saat ini masih bertahan
dan dipakai oleh sebagian besar PG Jawa.
Untuk wahana perkebunan tebu hendaknya dilengkapi dengan petugas/
pemandu wisata yang bisa menjelaskan/ memberikan tutorial tentang penanaman
tebu dan perawatannya. Wahana ini akan menjadi wahana yang sangat menarik bagi
anak-anak bila dilengkapi dengan praktek menanam tebu secara langsung,
perawatan tanaman tebu, cara menebang tebu yang benar dan lain sebagainya. Bisa
juga ditambahkan fasilitas lain seperti tur mengelilingi kawasan wisata sejarah
pabrik gula dengan menggunakan lokomotif kereta uap (atau kereta mini).
Miniatur pabrik gula yang dibangun sesuai dengan aslinya,
akan meningkatkan minat pengunjung untuk menikmati sajian wisata yang
dikunjunginya. Perlu dijelaskan pada pengunjung bahwa pembuatan gula pasir dari
batang tebu menggunakan prinsip dasar kristalisasi.
Batang tebu dihancurkan dan diperas hingga terbentuk cairan,
lalu disaring. Cairan tebu diuapkan dengan penguap hampa udara sehingga semakin
lama akan terbentuk larutan gula yang lewat jenuh sampai terbentuk
kristal-kristal gula pasir. Kristal-kristal gula pasir dipisahkan dari cairan
yang tidak mengkristal. Setelah itu, kristal dikeringkan hingga diperoleh
kristal gula pasir atau gula putih. Cairan tebu yang tidak mengkristal disebut
gula tetes dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan vetsin atau MSG (monosodium glutamate), gula tetes juga berfungsi
dalam proses pembuatan pupuk kompos/ komposter.
Untuk unsur rekreasi bisa diisi dengan berbagai pilihan wahana permainan seperti:
maze/ mozaik dari pohon tebu, Flying Fox, Kolam Renang yang didesain dengan
nuansa perkebunan tebu, Wall Climbing, roller coaster dan lain-lain. Agar
semakin lengkap, perlu juga dibangun restoran/ kafetaria untuk tempat bersantai
sambil menyantap menu-menu makanan, souvenir center untuk mencari oleh-oleh
makanan hasil olahan gula dan produk gula tebu serta fasilitas tempat ibadah
yaitu musholla.
Model pemasaran wisata sejarah pabrik gula ini hendaknya menekankan bahwa konsumen
merupakan individu pengambil keputusan serta mempertimbangkan aspek psikologi
dan sosial individu. Pada dasarnya, perilaku setiap individu berbeda-beda. Perbedaan perilaku itu juga
terdapat ketika mereka mengkonsumsi barang dan jasa.
Pelaku
industri gula hendaknya memperhatikan sifat-sifat individu dalam
menikmati suguhan yang disajikan wisata sejarah pabrik gula dan
mengetahui karakteristik serta gaya hidup para konsumennya. Pelaku industri gula hendaknya berpegang pada konsep pemasaran obyek wisata, sehingga dapat
menentukan keinginan konsumen dan memberikan kepuasan yang lebih baik daripada
yang diberikan oleh pesaing.
Kualitas barang pada souvenir
center juga perlu diperhatikan, karena kualitas barang yang bagus sangat
mempengaruhi daya beli konsumen, konsumen pasti mengutamakan barang yang
berkualitas tinggi pada saat melakukan pembelian.
Pelaku
industri gula dapat membuat konsumen senantiasa mengingat wisata sejarah pabrik
gula dengan cara menampilkan iklan secara periodik dan bervariasi, sehingga
akan selalu diingat oleh konsumen. Namun, apabila pengulangan iklan terlalu
sering dilakukan, hal itu dapat menimbulkan kebosanan konsumen, karena itu
penting juga untuk melakukan variasi dalam suatu iklan agar obyek wisata ini
tetap melekat dalam benak konsumen tanpa menimbulkan kebosanan.
Pelaku industri gula juga bisa memanfaatkan internet sebagai
unsur dalam model pemasaran. Pemasaran dengan sarana internet dapat menjangkau
kalangan menengah ke atas. Yang tak kalah pentingnya dalam pemasaran wisata ini
adalah terus-menerus merencanakan dan menyikapi dengan baik perkembangan
teknologi dan pasar.
Strategi lainnya pada HTM (Harga Tiket Masuk). HTM wisata
sejarah pabrik gula ini hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu
membebani pengunjung. Biaya yang relatif murah, akan meningkatkan daya tarik
pengunjung. Tentu saja, biaya yang murah tersebut tidak mengesampingkan
kualitas obyek wisata yang dibangun. Akhirnya, rencana tindak lanjut untuk
pengembangan wisata sejarah pabrik gula ini perlu mendapatkan perhatian khusus
dari pelaku industri gula sehingga bisa menjadi salah satu icon wisata
Jawa Timur.